Jumat, 10 Desember 2010

The Smiling Governor

H. M. Rusli Zainal SE., MP.

Maka tak berlebihan bila gubernur yang satu ini kita sebut dengan “The Smiling Governor”. Saat ditanya mengapa selalu tersenyum, tokoh energik ini menjawab bahwa dalam bekerja haruslah ikhlas. Keikhlasan akan membuat kita mencintai pekerjaan. Jadi meski sibuk, keras dalam bekerja, tapi dengan ikhlas, maka kita tidak akan stress, tapi justru akan membuat selalu tersenyum. Dan terbukti, ada keterkaitan antara senyum, ikhlas, dan kerja keras. Setidaknya dapat dilihat dari prestasi yang telah dicapai Rusli selama memimpin Riau.
Di bawah kepemimpinannya, tekad Menjadikan Riau sebagai pusat perokonomian dan pusat kebudayaan di Asia Tenggara di tahun 2020 bukanlah pekerjaan mudah, tapi bukan juga sesuatu yang mustahil untuk diwujudkan. Riau gemilang di masa depan hanya bisa diraih melalui perjuangan yang keras. Dalam hal ini, Rusli Zainal selalu yakin dengan salah satu pesan Al-Quran yang menyatakan “Sesungguhnya dalam kesulitan, terdapat kemudahan,”. Artinya, untuk mencapai sebuah prestasi, kemajuan, kebahagiaan hidup, selalu harus melawati perjuangan yang terkadang cukup sulit untuk dilewati. Tapi sesulit apapun, bila kita bekerja dengan ikhlas, maka cita-cita pun akan semakin mendekat. Dan karena ikhlas pula, menurut Rusli Zainal, dirinya selalu bekerja dengan senyuman. Dan senyuman tiada lain sebagai refleksi dari spirit optimisme dalam menatap masa depan. Dan tersenyumlah Riau menyongsong Visi 2020.

Kamis, 20 Mei 2010

KONSEP, STRATEGI, DAN IMPLEMENTASI GOOD GOVERNANCE DI KABUPATEN PADANG PARIAMAN

Pemerintah daerah memerlukan kerjasama dengan berbagai pihak dan tidak bisa bekerja sendiri. Kerjasama tersebut diantaranya, kerjasama antar Kabupaten/Kota, kerjasama dengan Provinsi dan kerjasama dengan Pemerintah Pusat. Kerjasama tersebut diperlukan sebagai upaya untuk menyejahterakan masyarakat.

Hal yang perlu menjadi catatan dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah bagaimana memfungsikan semua sistem yang ada. Misalnya, terkait dengan fungsi Kecamatan harus dioptimalkan menyangkut pendelegasian wewenang dari Bupati kepada Camat dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Dengan adanya manajemen yang terintegrasi ini, maka selaku Bupati Padang Pariaman, Bapak Muslim Kasim bisa terus berkreasi untuk mengembangkan berbagai kebijakan yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Padang Pariaman. Khusus kerjasama dengan Gubernur selaku wakil dari Pemerintah Pusat menjadi penting dan perlu di efektifkan karena terkait dengan berbagai kebijakan Pemerintah Pusat yang menyangkut dana dekonsentrasi dan tugas perbantuan.

GENTAKIN Perwujudan Akhlak Mulia

(Gerakan Cinta Keluarga Miskin)

Bagi Hj. Evi Meiroza Herman masalah kemiskinan menjadi perhatian utama. Pengalaman dan perjalanan hidupnya telah menorehkan kesan mendalam. Kepedulian untuk mengentaskan masyarakat miskin telah mendorongnya untuk berbuat sesuatu yang positif bagi masyarakat Kota Pekanbaru.

Sebagai Ketua Tim Penggerak PKK Kota Pekanbaru, ia terus berkecimpung dan bertemu dengan masyarakat bawah. Kesadaran dan keterpanggilan hatinya untuk mengangkat derajat kaum miskin tak pernah surut. Berawal dari keprihatinan tersebut Hj. Evi Meiroza Herman terus mencari dan mengharapkan program yang tepat untuk mewujudkan keinginannya tersebut.

Dengan melihat potensi keluarga miskin yang memiliki usaha dan melihat potensi keluarga mampu yang ada di sekitar keluarga miskin tersebut, Hj. Evi Meiroza Herman akhirnya menemukan program yang disebut GERAKAN CINTA KELUARGA MISKIN (GENTAKIN). Ide dasarnya sangatlah sederhana, yakni menggalang dana dari para donatur dari keluarga mampu untuk digunakan sebagai modal usaha bagi keluarga miskin.

Besarnya bantuan modal usaha yang diberikan kepada keluarga miskin yakni Rp 500.000 per keluarga. Bantuan sebesar itu dengan perincian untuk modal usaha Rp 250 ribu dan pembelian peralatan Rp 250 ribu. Gagasan sederhana tersebut ternyata memberikan hasil yang luar biasa. Hingga saat ini setidaknya dua belas kecamatan dengan 58 kelurahan yang telah mengikuti program GENTAKIN tersebut.

KONSEP DAN IMPLEMENTASI H. HERMAN ABDULLAH

Dalam Peningkatan Pelayanan Publik Di Kota Pekanbaru

Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab sejak tahun 2001, orientasi penyelengaraan pemerintah daerah telah bergeser dari ketergantungan pada pemerintahan pusat kepada kemampuan pemerintah daerah itu sendiri dalam membangun otonomi daerah menuju kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah Kota Pekanbaru mempunyai tekad yang kuat dalam mewujudkan Good Governance dan berupaya meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Komitmen untuk mewujudkan peningkatan kualitas pelayanan publik akan dicoba dipaparkan dalam sebuah buku. Buku yang diberi judul “Konsep dan Implementasi H. Herman Abdullah Dalam Peningkatan Pelayanan Publik di Kota Pekanbaru” akan memaparkan kepada pembaca dan segenap aparatur pemerintahan terutama aparatur Pemerintah Kota Pekanbaru tentang langkah-langkah dan strategi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Keseriusan ini merupakan tekad bersama yang harus didukung oleh segenap lapisan masyarakat, legislatif dan dunia usaha untuk mewujudkan visi “Terwujudnya Kota Pekanbaru Sebagai Pusat Perdagangan dan Jasa, Pendidikan serta Pusat Kebudayaan Melayu, Menuju Masyarakat Sejahtera yang Berlandaskan Iman dan Takwa”.

Busines Proses Re-engenering

Busines Proses Re-engenering (BPR) atau rekayasa ulang proses bisnis sebenarnya adalah sesuatu yang sangat penting dijalankan untuk memajukan kinerja dan produktifitas suatu organisasi, karena dia bersifat radikal untuk melakukan perubahan dengan berbasis pada proses. Proses adalah kata kunci dalam BPR, yaitu sekumpulan dari aktivitas yang meliputi satu jenis input atau lebih dan menciptakan sebuah output yang bernilai bagi pelanggan.

Pengertian BPR yang diungkapkan beberapa pakar antara lain :oleh Peppard & Rowland (1995) : Rekayasa ulang proses bisnis adalah filosofi perbaikan. Tujuannya adalah untuk mencapai perbaikan performansi dengan cara mendesain ulang proses-proses yang selama ini dijalani perusahaan, memaksimalkan nilai tambah yang terkandung didalamnya serta meminimalkan hal-hal yang tidak berkenaan dengan nilai tambah, pendekatan ini dapat diaplikasikan pada tingkat proses individu maupun tingkat organisasi keseluruhan. Gregory H Watson (1995) lebih menekankan pada rekayasa ulang dari sistem bisnis yang didefinisikan pada metoda untuk mengidentifikasi dan implementasi perubahan.

Pada dasarnya definisi BPR adalah Proses pemikiran kembali secara mendasar dan mendesain kembali proses bisnis (pekerjaan) untuk mendapatkan perbaikan dan kemajuan yang signifikan dalam ukuran kinerja, seperti : biaya, kualitas, pelayanan dan kecepatan. Dengan mencakup pandangan mengenai strategi (cara kerja baru), atau kegiatan merencanakan suatu proses pekerjaan dan menjalankan perubahan pada aspek teknologi, SDM dan organisasi

BPR ini bukan hanya diperuntukan bagi meningkatkan kinerja bisnis suatu perusahaan, namun bisa digunakan untuk organisasi apapun yang mengharapkan kemajuan berlipat ganda dengan focus berpikir pada proses bukan pada pekerjaannya dan manusianya, tapi bagaimana proses itu dijalankan sehingga bisa memberikan keuntungan yang berlipat ganda bagi kemajuan organisasi. Dan kajian tentang BPR ini selain penting, juga telah terbukti menghasilkan kemajuan signifikan bagi beberapa organisasi bisnis dalam beberapa dekade belakangan ini. Selain itu, nampaknya BPR sebagai suatu ilmu sudah dikembangkan jauh-jauh hari pada decade tahun 80-an sampai tahun 90-an di Amerika dan juga di beberapa Negara Eropa lainnya.

Penerapan BPR untuk melakukan perubahan mendasar pada suatu organisasi sangat relevan dilaksanakan, karena dalam perspektif global saat ini dunia kita digerakkan oleh 3C yaitu Costumer, Competitions, Change. Bahkan ada istilah yang mengatakan: if you don’t change, you dead. Kalau kamu tidak mau berubah kau akan mati.

Fenomena 3C itu tentu saja akan menstimulus semua pihak baik itu swasta maupun pemerintah di pusat dan daerah untuk melakukan perubahan berarti menyesuaikan dengan konteks jaman. Dan dalam konteks sekarang ini, sebenarnya telah banyak hal yang menunjukkan bahwa telah banyak perusahaan maupun organisasi pemerintah daerah melakukan banyak terobosan, inovasi, kreatifitas. Dan semua itu memerlukan kehadiran proses re-engenering, karena dengan hal itu, maka sebuah terobosan akan bisa menantang perubahan mainset dari costumer dengan meningkatkan nilai competitive-nya dengan penyesuaian organisasi terhadap perubahan lingkungan yang strategik.

Seperti yang sudah dijelaskan tadi, bahwa Proses re-enginering ini merupakan sebuah upaya pengembalian pemikiran, maka akan disertai dengan tindakan menjalankan perubahan pada 3 aspek penting yaitu tekhnologi, sumber daya manusia, dan organisasi. Setidaknya ketiga aspek itulah yang menjadi kunci dari BPR ini.

Pertama, aspek Sumber Daya Manusia. Sumber Daya Manusia (SDM) di dalam suatu organisasi sangatlah penting, oleh karena itu perlu dirumuskan metode yang tepat untuk melakukan perubahan pada hal ini. Dalam konteks ini, kita melihat betapa masih terpuruknya urutan Indonesia dalam kualitas mutu sumberdaya manusia di dunia kerja baik swasta maupun pemerintah. Bekerja masih dianggap sebagai sesuatu yang rutin.

Bahkan di sebagian karyawan, bisa jadi bekerja dianggap sebagai beban dan paksaan terutama bagi orang yang malas. Bisa dikatakan bahwa budaya organisasi atau budaya perusahaan masih belum banyak dijumpai kinerja yang mengarah ke produktifitas.

Oleh karena itu, peningkatan kulaitas SDM sangat penting dilakukan mengingat peran SDM menentukan berjalannya suatu organisasi. Bahkan ada ungkapan yang mengatakan bahwa "the man behind the gun". Hal itu sangat tepat untuk menggarisbawahi peran strategis dari SDM. Oleh karena itu SDM harus diberdayakan, dididik, dilatih secara radikal atau mendasar sesuai dengan kompetensi dan karakternya.

Kedua, pentingnya reengineering pada penerapan teknologi infomrasi (TI). Dalam praktiknya, tanpa adanya IT yang handal dan sesuai konteks perubahan jaman, maka perubahan yang terjadi tidak akan sistematis. Jika ingin mendapatkan rekayasa ulang yang sukses, tentunya BPR perlu didukung peralatan yang memudahkan proses dilacak atau dianalisa. Jadi jika melakukan perubahan total, maka perubahan itu karena peralatan yang mendukungnya. Jadi ini harus didukung dengan IT dan banyak sekali yang kita bisa lacak dari praktek-praktek bisnis.

Ketiga, aspek organisasi. Pada aspek organisasi, reenginering dimulai tentunya dari visi misi yang dibangun bagaimana arahnya kedepan, bagaimana visi dan misi itu membedakan organisasi dengan organisasi lainnya. Kemudian setelah itu ditetapkan kemana organisasi diarahkan, kemudian pada tahap berikutnya adalah menjadikan hal tersebut sesuatu yang strategis. Dan nilai-nilai strategis inlah yang dalam prose BPR akan terus ditonjolkan, seperti tentang apakah yang kita pikirkan yang akan kita kerjakan? atau sesuatu yang akan kita rubah itu bernilai strategis atau tidak untuk mencapai tujuan organisasi.

Kemudian setelah menetapkan suatu yang strategis, maka diperlukan adanya tindakan yang dilaksanakan untuk mencapai visi dan misi tadi. Dan selanjutnya diperlukan adanya penciptaan ukuran kinerja utama untuk dapat mengetahui kemajuan organisasi. Pembuatan ukuran kinerja merupakan sesuatu yang dianaggap penting oleh semua perusahaan-perusahaan yang menggunakan metode bisnis proses re-engenering ini, dan ini perlu dilaadopsi oleh organisasi pemerintahan.

Keberhasilan suatu organisasi dalam melakukan reengineering juga ditentukan oleh Kepemimpinan. kepemimpinan merupakan karakter yang diperlukan dalam suatu organisasi dalam melakukan perubahan. Agar dapat memimpin proses reengineering, maka seorang pemimpin harus menguasai manajemen kepemimpinan (leadership), mengenal secara mendalam visi dan misi organisasinya dan segala hal yang harus dilakukan bawahannya.

Seorang pemimpin harus berperan sebagai seorang manajer yang mampu mengelola pekerjaan melalui pendayagunaan kemampuan potensi bawahannya secara optimal, sehingga dia mau membuka diri untuk menerima gagasan yang kreatif dari bawahan mampu memotivasi dan memberdayakan bawahannya, dan memberikan keteladanan sikap yang mulia, profesional, dan berakhlak terpuji serta menunjukkan sikap moral dan kemampuan memimpin yang menjadi kerangka acuan anak buahnya. Selain itu juga harus berorientasi pada pencapaian kinerja positif, bersikap terbuka, demokratis menerapkan nilai-nilai budaya kerja dan mensosialisasikan kepada bawahannya, memperbaiki sistem prosedur dan cara kerja organisasi untuk dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan.

Mengingat pentingnya peran pemimpin dindalam sebuah organisasi, maka perubahan mau tidak mau harus dimulai dari pucuk pimpinan organisasi dulu, juga dengan segala kebijakannya, dengan segala kekuatan yang dimiliki baru kemudian di ikuti dengan element kapasitas lainnya. Sebelum perubahan berikutnya berproses di dalam suatu organisasi.

Hal yang paling penting juga adalah peran evaluasi. Aspek ini penting, namun selama ini sering dilupakan. Institusi pemerintahan biasanya terlena dengan kesenangan sendiri setelah menghasilkan sebuah peraturan misalnya perMenPAN, atau Kepmen tentang IKMK, tentang standar kinerja pelayanan ataupun namanya tetapi kita tidak mendapatkan akhir yang sukses untuk menyelesaikan proses tersebut secara tuntas, karena tidak diikuti dengan system reset in development melalui evaluasi secara terus menerus, setiap saat manakala lingkungan strategis dari organisasi itu berubah. Jadi, ketika customer, competition, change itu mengalami perubahan yang radikal lalu keputusan menteri, permenpan, perpes dan lain sebagainya itu tidak mengalami perubahan, berarti kita tidak berada pada akhir yang sukses untuk sebuah proses reenginering.

Hambatan Perubahan
Seperti yang dibahas tadi, bahwa era globalisasi saat ini telah berdampak terhadap 3 C, yaitu customer, competition, dan change. Pelanggan menjadi penentu, pesaing makin banyak, dan perubahan menjadi konstan. Tidak banyak orang yang suka akan perubahan mendasar melalui BPR, namun walau begitu perubahan melalui BPR tidak bisa dihindarkan.

Walaupun perubahan mendasar untuk menciptakan kinerja yang lebih baik tidak dapat dihindari, namun banyak masalah yang bisa terjadi ketika perubahan akan dilakukan. Masalah yang paling sering dan menonjol adalah “penolakan atas perubahan itu sendiri”. Istilah yang sangat populer dalam manajemen adalah resistensi perubahan (resistance to change). Penolakan atas perubahan tidak selalu negatif karena justru karena adanya penolakan tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.

Penolakan atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam bentuk yang standar. Penolakan bisa jelas kelihatan (eksplisit) dan segera, misalnya mengajukan protes, mengancam mogok, demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa juga tersirat (implisit), dan lambat laun, misalnya loyalitas pada organisasi berkurang, motivasi kerja menurun, kesalahan kerja meningkat, tingkat absensi meningkat, dan lain sebagainya.

Setidaknya terdapat dua factor utama yang membuat perubahan mendasar itu mengalami hambatan. Untuk keperluan analitis, dapat dikategorikan sumber penolakan atas perubahan, yaitu penolakan yang dilakukan oleh individual dan yang dilakukan oleh kelompok atau organisasional.
(Ade Wiharso)

Otonomi Daerah Dan Pemekaran Wilayah

Penerapan otonomi daerah selain memberikan wewenang yang lebih luas bagi setiap daerah untuk memaksimalkan potensi mereka masing-masing, juga membuka peluang tersalurkannya aspirasi masyarakat untuk melakukan pemekaran wilayah. Menurut definisi secara umum, pemekaran daerah/ wilayah adalah pemecahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota menjadi lebih dari satu daerah.

Aspirasi masyarakat daerah untuk memekarkan suatu daerah baik propinsi maupun kebupaten kota yang pada masa Orde baru terpendam dan mengalami kesulitan, maka di era reformasi ini keinginan masyarakat tersebut menggelontar di berbagai daerah. Di era otonomi daerah ini, aspirasi untuk melakukan pemekaran wilayah merupakan salah satu tuntutan yang tidak dapat dipungkiri. Berbagai argumentasi yang mendukung adanya pemekaran wilayah antara lain untuk mempercepat pembangunan daerah, mendongkrak peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah dan demi meingkatkan kesejahteraan masyarakat daerah.

Dengan terbukanya apirasi daerah untuk menuntut pemekaran wilayah, maka Kebijakan memekarkan wilayah di Indonesia telah mengalami peningkatan sejak penerapan otonomi daerah ini. Setidaknya di era otonomi daerah inilah, tercatat adanya pelaksanaan kebijakan pemekaran wilayah yang paling spektakuler, yaitu terdapat 8 (delapan) provinsi dan 182 Kabupaten dan kota yang telah berdiri melepaskan dari provinsi dan kabupaten/kota induknya. Dari semua kebijakan pemekaran wilayah itu, di seluruh wilayah Indonesia saat ini telah memiliki 432 kabupaten dan kota, dan untuk provinsi berjumlah 33.

Sampai saat ini pemerintah telah memutuskan penetapan batas wilayah antar daerah sebanyak 17 Provinsi dari 33 provinsi di Indoensia. Sementara itu, pemerintah juga telah menetapkan 52 batas wilayah kabupaten dan kota yang ditetapkan berdasarkan keputusan menteri dalam nergeri.

Kebijakan pemekaran wilyah sebenaranya telah terjadi sejak awal kemerdekaan Indoensia. Namun dinamikanya pada era reformasi ini terlihat sangat kuat seiring pemberlakuan otonomi daerah. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memiliki 8 provinsi, yaitu: Sumatra, Borneo (Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Pada masa pergerakan kemerdekaan (1945-1949), Indonesia mengalami perubahan wilayah akibat kembalinya Belanda untuk menguasai Indonesia, dan sejumlah "negara-negara boneka" dibentuk Belanda dalam wilayah negara Indonesia.

Sejak awal kemerdekaan Indonesia, dimulai telah terjadi perkembangan pemekaran wilayah Indonesia pada kurun waktu 1950-1966, yaitu :Tahun 1950, Provinsi Sumatra dipecah menjadi Provinsi Sumatera Utara (termasuk di dalamnya Aceh), Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sementara, Yogyakarta mendapat status provinsi "Daerah Istimewa". Tahun 1956, Provinsi Kalimantan dipecah menjadi provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Tahun 1957, Provinsi Sumatera Tengah dipecah menjadi Provinsi Jambi, Riau, dan Sumatera Barat. Sementara Jakarta mendapat status provinsi "Daerah Khusus Ibukota". Pada tahun yang sama pula, Aceh kembali dibentuk provinsi terpisah dari Provinsi Sumatera Utara (pada tahun 1959 Provinsi Aceh mendapat status provinsi "Daerah Istimewa"). Tahun 1959, Provinsi Sunda Kecil dipecah menjadi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Pada tahun yang sama, dibentuk provinsi Kalimantan Tengah (dari Kalimantan Selatan). Tahun 1960, Provinsi Sulawesi dipecah menjadi Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Tahun 1963, PBB menyerahkan Irian Barat ke Indonesia. Tahun 1964, dibentuk Provinsi Lampung (pemekaran dari Sumatera Selatan). Pada tahun yang sama, dibentuk pula Provinsi Sulawesi Tengah (pemekaran dari Sulawesi Utara) dan Provinsi Sulawesi Tenggara (pemekaran dari Sulawesi Selatan). Sedangkan pada masa orde baru, isu pemekaran wilayah relatif tenggelam dikarenakan pengaruh sistem sentralisasi yang mengebiri aspirasi pemerintah daerah. Di masa orde baru terjadi sedikit pemekaran yaitu :Tahun 1967 Provinsi Bengkulu dimekarkan dari Provinsi Sumatera Selatan. Tahun 1969 Irian Barat secara resmi menjadi provinsi ke-26 Indonesia.
Kebutuhan untuk melakukan pemekaran wilayah menjadi suatu yang tidak bisa dielakkan. Mengingat rentan kendali pemekaran wilayah yang begitu luas yang mengakibatkan pengendalian pemerintahan terhambat dan proses pembangunan juga tersendat akibat luasnya wilayah, sebenarnya pemekaran wilayah memang dibutuhkan masyarakat. Selain itu, pemekaran wilayah sesungguhnya bertujuan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan membuka isolasi wilayah.

Pada tataran normatif, kebijakan pemekaran daerah ditujukan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahtraan masyarakat. Namun, kepentingan politik seringkali lebih dominan dalam berbagai proses pemekaran daerah yang berlangsung selama ini. Proses pemekaran daerah pun menjadi bisnis politik dan uang. Akibatnya, peluasan daerah pemekaran seringkali diwarnai indikasi terjadinya KKN. Kepentingan substansif, yakni peningkatan pelayanan masyarakat, efissiensi penyelenggaraan pemerintahan, dan dukungan terhadap pembangunan ekonomi mempunyai potensi besar untuk tidak di indahkan. Dalam PP RI No 129 tahun 2000 pasal 2 disebutkan pembentukan daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melalui :a.Pengankatan pelayanan terhadap masyarakat; b.Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi; c.Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; d.Percepatan pengelolaan potensi daerah; e.Pengankatan kecamatan dan ketertiban; f.Pengankatanhubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Namun seiring berjalannya pelaksanaan pemekaran wilayah di Indoensia terutama sejak era reformasi, memerlukan evaluasi serius. Mengingat ditemukannya beberapa kasus pemekaran wilayah yang hasilnya tidak sesuai dengan tujuannya yaitu mensejahterakan rakyat daerah.

Beberapa persoalan serius antara lain, kebutuhan pemekaran yang kemudian diintervensi atau dikelola oleh elit-elit partai politik di daerah maupun di pusat serta calo-calo kekuasaan dan anggaran dengan melibatkan transaksi-trasaksi uang. Di samping itu, aspirasi pemekaran wilayah yang sejatinya berasal dari rakyat, telah diabil alih oelh kepentingan sesaat elit partai politik. Sehingga tepat bila dikatakan bahwa, sebagian besar daerah otonom baru hasil pemekaran gagal menyejahterakan masyarakat. Adanya transaksi-transaksi dalam proses pemekaran wilayah, menurut pengamat politik, Siti Zahro akan semakin menjauhkan esensi dan kepentingan pemekaran. Pemekaran menjadi semakin jauh dari kebutuhan sebenarnya, yaitu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. (Ade Wiharso)

Senin, 15 Maret 2010

Sekilas Tentang Meilfa Media Publishing

MEILFA MEDIA PUBLISIHING didirikan pada tanggal 5 Mei 2008. Dengan mengambil visi “Menerbitkan Buku Orang-orang Ternama”, tanpa disengaja penerbitan buku ini terus melangkah maju. Awalnya karena ingin berkreasi di dunia tulis menulis sambil melihat beberapa kemajuan daerah dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik. Hingga akhir tahun 2009 ini, tanpa terasa telah dihasilkan 15 buah buku yang sebagian besar konsep, gagasan dan pemikiran beberapa kepala daerah untuk memajukan wilayahnya serta upaya-upaya mewujudkan kepemerintahan yang baik.

Sebagian besar buku-buku yang diterbitkan merupakan kerjasama dengan beberapa penerbit lain diantaranya Purusutama Publications, STIA Kawula Indonesia, Nurasa Publishing dan RM Books.


TEAM WORK

Tim tangguh dan produktif tidak harus dipenuhi oleh orang-orang hebat, namun sebenarnya terlahir dari hasil racikan potensi unggul yang dimiliki oleh masing-masing anggota tim. Setidaknya hal itu telah dipraktikkan oleh Meilfa Media Publishing dalam kiprahnya di dunia penerbitan hingga saat ini bisa menghasilkan 15 judul buku. Adrinal Tanjung sebagai Pemimpin Redaksi merupakan orang yang terbukti mampu melihat dan mendayagunakan setiap potensi unggul yang dimiliki staf-stafnya. Dengan pengalamannya di dunia birokrasi dan penulisan serta sering berhubungan dengan banyak orang telah membuatnya paham kelemahan dan keunggulan masing-masing stafnya, yaitu Irwanto, Ade, Rahmat, dan Ziki.

Seorang Irwanto dengan hobi jalan-jalan dan bekerja di luar ruangan telah dijadikan sebagai sekretaris redaksi sekaligus merangkap sebagai marketing yang sering berhubungan dengan banyak pihak di luar Meilfa Media Publishing. Ade Wiharso, dengan hobi membaca serta menulis dan tidak suka pekerjaan lapangan telah diangkat sebagai editor. Rahmat Sya'ban yang senang pekerjaan di dalam ruangan serta paham masalah komputer diberi tugas untuk mengelola administrasi dan umum. Begitu juga Ziki, yang hobi mendesain telah diangkat sebagai desain grafis. Perpaduan berbagai keunggulan itu saat ini siap mengibarkan bendera Meilfa Media Publising di blantika penerbitan buku. Selain itu Meilfa Media Publisihing juga menjalin kerjasama dengan beberapa tenaga ahli (penulis dan editor) dan penerbitan lainnya.