Sabtu, 07 Mei 2011

Seminar Anything is Possible

Berkarir Di Dunia Penulisan, Kenapa Tidak!

Penulis buku jarang intelektual. Intelektual ialah mereka yang berbicara tentang buku yang ditulis orang lain. (Françoise Sagan)

Terjunnya saya di dunia penulisan, tidaklah terjadi begitu saja. Saya melaluinya dengan perenungan yang mendalam tentang dunia yang berkaitan dengan banyak gagasan ini. Perenungan saya pada awalnya selalu memunculkan perta­nyaan tentang prospek masa depan sebagai penulis, yaitu “Apa betul kita bisa hidup layak dari menulis?” Atau bahkan, kadang-kadang pertanyaan liar sering melesat, “Bisakah saya kaya dari menjual tulisan?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu bermunculan, karena memang profesi menjadi penulis itu belum benar-benar menjanjikan di negeri ini. Sudah terlanjur tercipta kesan di tengah masyarakat, bahwa profesi menjadi penulis belum sepenuhnya mendapatkan tempat yang layak, berbeda dengan profesi populer seperti dokter, bankir, pengusaha, dan sebagainya.

Bila Anda tidak percaya tentang realitas yang ada di tengah masyarakat mengenai belum terbilang menjanjikannya profesi sebagai penulis, mari kita amati perilaku masyarakat ketika mengarahkan anak-anaknya memilih profesi masa depan. Hampir bisa dipastikan, jika sebagian besar memilih untuk tidak menjadikan anaknya menjadi penulis. Jika tidak dokter, biasanya insinyur, guru, pegawai bank, pekerja BUMN, artis, pengacara, dan jenis profesi lainnya yang secara finansial memang menguntungkan.

Sebenarnya, hal seperti di atas, merupakan feno­mena yang sangat memprihatinkan, bagi perkembangan produkti­vitas bangsa ini ke depannya. Mengingat buntut dari rendah­nya “kasta” seorang penulis, menjadikan produktivitas buku-buku dalam negeri tertinggal jauh. Padahal, kualitas sebuah buku mencerminkan kualitas sebuah bangsa. Saya selalu sedih, setiap kali mengunjungi toko buku, yang saya lihat adalah buku-buku terjemahan, mulai dari novel, kumpulan cerpen, psikologi, musik, hingga buku-buku non fiksi seperti ekonomi, teknik hingga kedokteran. Lalu, kemanakah para penulis asli Indonesia? Saya mengakui dan bangga atas kehadiran beberapa penulis sukses Indonesia, namun mereka hanya segelintir dari ratusan juta penduduk negeri ini.

Namun, secara pribadi, saya tidak pernah mem­persoal­­kan tidak populernya profesi penulis di Indonesia, dan saya yang memilih terjun di dunia penulisan, pada awalnya memang ingin membuktikan kesalahan berpikir masyarakat yang mengatakan bahwa menjadi penulis sama halnya dengan memiskinkan diri. Karena faktanya, saya melihat banyak orang yang sukses dari menulis. Bahkan, bukan hanya sukses dalam kepuasan batin (karena bukunya dibaca sekian banyak orang), namun juga sukses secara finansial.

Sebenarnya, tidak populernya profesi sebagai penulis bersumber dari kesalahpahaman masyarakat dalam meman­dang dunia penulisan. Misalnya, mitos yang me­ngatakan, bah­wa menulis itu sulit dan memerlukan bakat yang luar biasa. Ada pula yang menyatakan, bahwa untuk menjadi seorang penulis harus terlebih dahulu mencapai jenjang atau karir tertentu. Bahkan, ada pula yang mengatakan, bahwa pekerjaan me­nulis adalah pe­ker­jaan istimewa yang hanya pantas dikerjakan oleh orang yang super kreatif dan memiliki daya dongkrak ima­jinasi yang tinggi.

Menurut saya, pandangan ini membahayakan. Karena membuat kegiatan menulis menjadi menyeramkan, sehingga jarang sekali ada orang yang berani mencoba. Apalagi siswa-siswa SD hingga SMA yang notebene adalah remaja. Padahal, setiap orang mempunyai potensi untuk menjadi penulis, asalkan suka membaca dan menulis. Dalam tradisi baca tulis, saya mengenal petuah bijak “There are all kinds of writer and all kinds of reader.”

Untuk itulah, saya terjun ke dunia penulisan, mulai dari penulisan artikel di koran, penulisan jurnalistik, sampai buku, salah satunya didorong oleh keinginan untuk membuktikan, bahwa persepsi nenulis adalah pekerjaan yang sulit, itu salah. Menurut saya, dengan posisi saya yang sebagai PNS suatu kementerian negara dan berhasil mempublikasikan penulisan dalam banyak buku, tentu saja bisa membuktikan kekeliruan pandangan tersebut.

Selain itu, keinginan saya untuk terjun dalam dunia penulisan ini, juga banyak terinspirasi oleh kisah-kisah sukses berbagai penulis, baik penulis dari dalam negeri maupun di luar negeri. Saya sering terinspirasi kisah sukses penulis yang bukunya masuk kategori best seller dan dicetak berulang-ulang, sehingga royalti yang diperolehnya pun juga makin berlipat. Sebut saja buku La Tahzan karya karya Dr. ‘Aidh al-Qarni yang menjadi buku terlaris di Timur Te­ngah, buku best seller Toto Chan karya Tetsuko Kuroyanagi, atau novel-novel Dan Brown (The Da Vinci Code, Angel and Demons), dan belum lama ini juga diluncurkan buku The 8th Habit From Effectiveness to Greatness karya Stephen R Covey.

Tentunya juga saya pernah membaca kisah suk­ses penulis dalam negeri semacam Mu­hammad Fauzil Adhim, penulis spesialisasi topik ke­luarga dan per­nikahan. Bebe­rapa buku lain­nya ber­judul Mencapai Per­ni­kahan Barakah (t­elah menembus angka 100.000 ko­pi), Kado Pernikahan untuk Istriku, dan Indahnya Pernikahan Dini. 23 buku-buku karya Fauzil juga menjadi buku laris di pasaran. Bahkan ro­yalti buku Kupinang Engkau dengan Hamdalah (telah ­terjual 100.000 kopi) mencapai antara Rp 15 juta sampai Rp 25 juta per bulan.

Ada juga Pipit Senja. la adalah salah seorang penulis wa­nita senior dan dapat membuktikan bahwa biaya hidup (living cost) bisa diperoleh dari aktivitas menulis. Lebih dari 100 buku novel dan kumpulan cerpen telah ditulisnya. Dari menulis ini, Pipit memperoleh royalti sekitar Rp 30 juta per tiga bulan. Serendah-rendahnya Rp 5 juta sebulan. Belum termasuk pendapatan dari seminar dan pelatihan menulis di berbagai kota, maupun menjadi editor tamu di sejumlah penerbitan. Bahkan, wanita penderita thalassemia (cacat darah bawaan) ini, setiap hari pekerjaannya hanya menulis. Begitu juga saat diundang ke luar kota maupun luar negeri, ia selalu menyempatkan diri untuk menulis.

Jadi menjadi jelas bukan, jika profesi menulis bisa ditekuni oleh siapa saja. Bahkan bekerja sebagai PNS, yang biasanya tidak memiliki waktu banyak untuk menulis, juga mampu menghasilkan sebuah karya tulis. Seperti saya, seorang PNS sebuah kementerian negara yang juga sebagai kepala keluarga, namun tetap produktif dalam menulis buku hingga kini.***

Pengalaman Menjadi Wartawan Plat Merah

”Mulai” adalah kata yang penuh kekuatan. Cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu adalah, “mulai”.Tapi juga mengherankan, pekerjaan apa yang dapat kita selesaikan kalau kita hanya memulainya?
(Clifford Warren)


Sebagai seorang yang mencintai dunia tulis menulis, membuat saya memilih untuk terlibat di dalam profesi jurnalistik selama menjadi PNS, baik di BPKP maupun di MENPAN. Keterlibatan saya di dunia jurnalistik, berawal ketika saya aktif sebagai wartawan plat merah di sebuah majalah milik BPKP tempat saya bekerja.

Walaupun media yang saya pegang termasuk media milik pemerintah, namun saya berupaya sekuat tenaga untuk membuatnya berkualitas dan layak dibaca banyak orang. Karena, selama ini, anggapan orang terhadap media plat merah adalah kualitas yang rendah, miskin peminat, dan operasionalnya selalu berharap pada sub­sidi pemerintah.

Selama aktif di media plat merah, saya sering mendengar pertanyaan bernada mengkritik, “Apakah media yang dike­lu­ar­kan pemerintah itu dibaca orang?” Mendengar itu, saya yang kebetulan adalah salah satu aktivis “media plat merah”, se­la­lu terdiam dan menganggapnya sebagai sebuah masukan ber­harga, agar media plat merah bisa memperhatikan kualitas isi, seperti media lain yang lebih profesional dan bertiras besar.

Adanya anggapan buruk terhadap media pemerintah itu, saya malah memilih merendah, sambil menjawab dalam hati, bahwa media yang kita kelola itu sebenarnya seolah media internal. Jadi, pembacanya memang spesifik orang tertentu saja, sekalipun disebarkan ke sejumlah daerah. Pembacanya dipastikan adalah orang pemerintah atau mereka yang butuh informasi sesuai tema yang dituliskan itu.

Di satu sisi, saya mafhum, bahwa memang di kalangan jurnalis masih berkembang kebanggaan, bahwa setiap tulisan yang ada, memang dibaca dan dibutuhkan oleh orang-orang atau khalayak. Sehingga sang jurnalis yakin, bahwa tulisannya akan dibaca. Padahal, pembaca–termasuk saya sendiri, dan bahkan mungkin Anda—akan memiliki kemampuan dan keinginan seleksi terhadap informasi yang disajikan. Kalau tak butuh, ya tidak diteruskan untuk dibaca.

Anggapan negatif terhadap media yang berplat merah itu, membuat saya juga agak miris, karena hal ini merupakan salah satu indikasi begitu besarnya diskriminasi terhadap pekerja media milik pemerintah. Bahkan, beberapa episode perdebatan di milis pun sempat santer mengkritisi tatkala orang pemerintah atau PNS bekerja sebagai media umum. Padahal, hal ini banyak terdapat di daerah-daerah. Koran-koran daerah yang tidak memiliki jaringan dengan koran-koran nasional, banyak yang hidup dan dihidupi oleh orang pemerintah.

Namun, semua itu saya hadapi dengan membuktikan, bahwa media pemerintah juga bisa laku dan dicari masyarakat, karena isinya yang berbobot. Untuk itulah, saya bersama teman-teman, bertekad sekuat tenaga untuk menjaga, agar media yang kami jalankan, bisa hidup tanpa subsidi pemerintah.

Untuk mewujudkan impian saya dalam menaikkan kualitas majalah yang kami kelola, maka saya sering kali pulang telat, tidur larut malam, bahkan sering menginap di kantor untuk urusan menghidupi dan menjaga kualitas isi media. Bagi saya, hal tersebut adalah bentuk kerja keras dan pengorbanan yang harus dibayar dengan hilangnya waktu untuk keluarga dan anak-anak saya. Pengalaman tersebut saya dapatkan ketika diberi amanah mengelola majalah Layanan Publik di Kementerian Negara PAN.

Sering kali, di kala kesibukan memaksa saya untuk tidak pulang, wajah istri dan anak-anak tiba-tiba saja hadir dalam benak. Tapi apa daya, diri ini tak sampai. Saya hanya bisa berharap, semua pengorbanan ini akan memberi pemahaman kepada mereka kelak ketika mereka dewasa, bahwa untuk meraih suatu cita-cita atau impian, haruslah menjadi manusia yang kuat, pemberani, dan mau berkorban. Untuk istri dan anak-anakku kulantunkan puisi indah yang ditulis oleh Jenderal Dauglas McArthur untuk anaknya yang akan lahir, ketika ia tidak bisa pulang ka­rena harus memimpin Perang Dunia II. Bunyi puisi itu adalah:

Tuhanku,
Bentuklah putraku menjadi manusia yang kuat,
agar menjadi pemberani manakala dirinya lemah.
Menghadapi dirinya sendiri manakala dia dalam keadaan takut
Jadikan dia manusia yang bangga dan teguh dalam kekalahan
Jujur dan rendah hati serta berbudi halus ketika dalam kemenangan.
Bentuklah putraku menjadi manusia yang semangatnya tak pernah mati, putra yang selalu mengingat Engkau dan mengenali dirinya.

Tuhanku,
Aku mohon agar putraku jangan dipimpin di jalan yang mudah dan lunak,
tetapi di bawah tekanan dan desakan, kesulitan, dan tantangan.
Didiklah putraku supaya tetap teguh ditimpa badai
dan mampu melimpahkan cinta bagi mereka yang gagal
Bentuklah putraku menjadi manusia yang berhati bening,
yang cita-citanya tinggi, putra yang sanggup memimpin dirinya sendiri
sebelum memimpin orang lain.
Putra yang mampu menjangkau masa depan,
tetapi tidak melupakan masa lalunya ketika dia menggapainya.
Aku juga memohon, jadikan pula putraku seorang yang jenaka
agar dalam kesungguhannya tetap ceria.

Tuhanku,
Berilah juga ia kerendahan hati
Agar selalu ingat kesederhanaan, kearifan, kelembutan, dan kekuatan sejati
sehingga suatu saat, aku, ayahnya, berani berkata, “Hidupku tidaklah sia-sia.”

Kerja keras hingga pulang larut malam, bahkan tidak pulang, saya lakukan. Karena saya menyadari, bahwa kualitas isi dan penyajian adalah penting untuk membangun ceruk pasar pembaca yang baru. Hal itu sudah menjadi keharusan bagi sebuah media massa di tengah kompetisi media yang ketat. Jika tidak, selain akan tergusur oleh media yang sudah kuat, posisi media tersebut akan “terancam” oleh media baru yang terus bermunculan.

Apalagi, saat ini media cetak yang menjual informasi, harus bersaing dengan media elektronik yang memberi infor­masi secara gratis, sehingga mengharuskan media massa cetak mencari berbagai cara untuk dapat survive di tengah per­saingan ketat media saat ini, lewat mana saja dengan mengesampingkan subsidi dari pemerintah sebisanya.

Dengan usaha yang sungguh-sungguh, akhirnya, media yang saya jalankan bisa dikatakan berhasil hidup layak. Selain itu, segmentasi pembacanya sudah meluas di luar pemerintah.

Pada kenyatannya, media massa cetak mempunyai segmen-segmen pembaca sendiri, sesuai dengan isinya. Karena itu, terbitan majalah kami, kami buat menjadi beraneka ragam sesuai dengan sasaran pembacanya. Baik untuk kalangan pemerintah pusat maupun daerah dengan memperhatikan kualitas penyajian. Setidaknya, hal itu membuktikan, bahwa berkarya di media plat merah juga memerlukan profesionalitas demi menjaga kualitas yang disukai masyarakat. ***

Tulisan Sebagai Sarana Perjuangan

Saya adalah salah satu orang yang memiliki ikrar, bahwa menulis adalah sebuah kebiasaan. Selepas kuliah di Universitas Andalas, Sumatera Barat, saya sempat bekerja di berbagai tempat, seperti di Semen Padang, Auditor pada BPKP, dan terakhir di MENPAN sebagai PNS sampai sekarang. Meski bekerja sebagai seorang PNS, namun tidak membuat saya harus meninggalkan kebiasaan menulis itu.

Sebuah prestasi menulis yang pernah saya ukir sewaktu bekerja di PT. Semen Padang adalah sebagai juara pertama lom­ba karya tulis se PT. Semen Padang. Waktu itu saya sempat mengalahkan salah seorang penulis terbaik di PT. Semen Padang.

Akhirnya, dengan bekal selalu mengasah keterampilan menulis artikel tentang suatu isu, suatu hari, sewaktu saya bekerja di Manado sebagai PNS BPKP, saya memberanikan diri mengirimkan artikel ke sebuah koran lokal di sana. Dan tidak disangka, ternyata, artikel saya dimuat di koran tersebut. Pemuatan artikel itu, membuat saya terpacu untuk selalu melatih keterampilan saya tersebut hingga sekarang.

Ketika pertama kali menulis artikel untuk koran lokal di Kota Manado itu, saya sebenarnya hanya menanggapi suatu isu dengan gagasan-gagasan yang saya punya dan saya peroleh dari berbagai sumber. Namun, saat pertama kali tulisan itu dimuat, saya merasa sangat bangga. Namun, berkat tulisan yang dimuat itulah, aktivitas dan energi menulis saya terus bergelora hingga saat ini, dengan beberapa buku yang telah berhasil saya tulis dan terbitkan.

Setelah tulisan pertama itu berhasil dimuat media lokal, saya mulai bersemangat untuk menulis berbagai isu-isu hangat yang terjadi di masyarakat. Dan di luar dugaan, ternyata tulisan-tulisan saya berikutnya bisa pula dimuat di beberapa media lokal setempat. Padahal, untuk bisa menulis artikel mengenai isu utama di masyarakat itu, kita harus bersaing dengan berbagai orang, yang bisa dibilang pakar di bidang isu tersebut. Apalagi, isu-isu yang saya tanggapi melalui artikel itu, disebut-sebut oleh beberapa kalangan penulis, sebagai isu yang “angker”, karena kalau mengirimkan artikel untuk isu semacam itu, harus siap-siap menerima jawaban khasnya, “Maaf... kami kesulitan tempat untuk memuat tulisan Anda yang berjudul bla blabla...

Namun, yang perlu saya garisbawahi di sini, dari pengalaman saya itu, bukan berarti setelah tulisan sebelumnya dimuat, tulisan berikutnya akan melenggang begitu saja di mata redaktur. Bahkan, saking frustrasinya, bagi saya menulis artikel di koran adalah menulis untuk dikembalikan, bukan untuk dimuat. Saya sangat merasakan itu.

Bagi saya, menulis adalah setali dengan aktivitas membaca. Gila baca sejak kecil adalah dasar berharga dalam perkembangan kegiatan kreatif saya dalam menuangkan gagasan ke dalam tulisan. Bahkan, saat mendapatkan gaji atau honor mengajar sebagai dosen di sebuah universitas swasta, saya pergunakan hanya sebagian kecil saja untuk keperluan tidak penting. Justru sebagian besarnya, saya alokasikan untuk membeli buku, yang sekarang telah memenuhi ruangan kerja saya. Setidaknya cinta dan komitmen kepada dunia tulis menulis dan buku, telah menjadikan saya sangat kuat membaca dan menulis berjam-jam.

Saya selalu berupaya dengan sekuat tenaga melatih keterampilan saya di dunia tulis menulis, karena saya percaya, bahwa yang penting adalah kerja keras. Saya sendiri punya pengalaman yang menggambarkan akan pentingnya minat untuk meraih kesuksesan. Ketika kecil, saya pernah menyerah dalam belajar bermain gitar. Saya tetap tidak bisa juga, walau sudah berkali-kali mencoba. Teman-teman lain dengan amat mudah mengenali kunci C dan berbagai macam kunci lainnya di senar gitar, sementara saya sama sekali tidak bisa melihat di mana bedanya. Teman-teman lain dengan sangat mudah memainkan nada dari lagu tertentu hanya setelah mereka mendengarnya satu kali saja. Sementara saya? Blank sama sekali soal itu.

Selain sama sekali tak bisa, karena saya memang tak minat bermain gitar, seumur hidup saya pun memang tak pernah kepikiran untuk menjadi seorang pemain gitar. Ketika memutuskan untuk berhenti belajar bermain gitar, sampai hari ini saya sama sekali tidak menyesal.

Selain minat dan latihan, motivasi adalah hal penting untuk meningkatkan keterampilan menulis. Motivasi bahwa menulis bukanlah aktivitas yang sekadar untuk mencari honor atau popularitas, tapi menulis memiliki misi profetis, yaitu perjuangan untuk menyampaikan realitas (kebenaran).

Selama ini, kita sering menilai, bahwa menulis termasuk kegiatan yang tidak memiliki pengaruh nyata di dalam masyarakat, bahkan dianggap sebagai aktivitas yang pasif. Padahal, sebenarnya, para penulis bisa berbuat banyak dengan tulisan yang merupakan hasil gagasannya itu. Efek sebuah tulisan memiliki kekuatan menggerakkan, juga bisa menghasilkan semangat perjuangan atau kebangkitan, dan membuka cakrawala berpikir yang dinamis bagi orang yang membacanya. Sehingga, bisa dikatakan, bahwa menulis juga bisa dijadikan media perjuangan untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik.

Dalam konteks ini, saya salah seorang yang mengakui efektifitas menulis untuk sarana perjuangan membumikan ide-ide yang kita miliki kepada masyarakat. Kita bisa menuangkan ide-ide yang berkecamuk di alam pikiran kita, kemudian dengan kekuatan pena dan hati yang tulus ikhlas, ditambah dengan keyakinan yang paripurna terhadap apa yang akan kita tulis, maka tulisan kita tersebut akan menjadi permata-permata indah yang siap diambil dan dijadikan harta berharga oleh para pembaca.

Saya sangat tergugah dengan kata bijak yang berbunyi “Karena kata adalah senjata!” Kalimat inilah yang banyak mendorong saya menggeluti dunia penulisan demi memberikan sumbangsih bagi kemajuan bangsa. Selama ini, saya banyak menulis buku, tidak lain berharap, agar buku-buku yang telah saya hasilkan, akan membawa perubahan bangsa ke arah yang lebih baik, terutama dalam sektor pemerintahan daerah di era otonomi ini.

Dengan menulis tentang kebaikan penerapan good governance dan reformasi birokrasi, serta melambungkan prestasi beberapa kepala daerah agar bisa memacu beberapa daerah lainnya, maka saya berharap akan muncul kemajuan Indonesia yang berawal dari kemajuan daerah. Menulis, dengan demikian, tak ubahnya seperti berjuang. Sebuah profesi yang memiliki tujuan mulia seperti para pejuang.

Jika di masa perang fisik dulu, para pahlawan kita menggunakan bambu runcing, senjata otomatis, bom rakitan yang diisi dengan paku, beling dan pupuk, dengan peluru tajam atau sesekali (jika berhasil merampas) dengan meriam canggih, maka saat ini kita menulis sebenarnya juga melanjutkan perjuangan membangun bangsa ini dengan bersenjatakan pena.

Beberapa buku yang saya tulis selama ini, memang selalu memuat visi dan misi pemerintahan daerah, serta berbagai prestasi pembangunan yang mereka capai, sehingga bisa dijadikan inspirasi bagi setiap orang yang membacanya. Untuk itulah, saya selalu mengusahakan menuangkan ide-ide itu dengan kata-kata yang bertenaga sebagai senjata dan hati yang lembut, tulus dan ikhlas sebagai amunisinya, demi kemajuan bangsa di masa depan, dan dapat dipelajari oleh generasi yang akan datang.

Dengan demikian, saya memerlukan kata-kata yang luar biasa yang bisa dijadikan senjatanya. Dan senjata itu bukan senjata biasa, bukan senjata yang sekali ditembakkan langsung rusak, tak bisa dipakai, akan tetapi senjata itu penuh dengan kekuatan yang membuatnya senantiasa tidak capek dalam menembak. Sedangkan hati yang lembut adalah amunisi, peluru yang akan terbang bebas, tanpa beban, dan fokus pada sasaran. Ketika peluru hati itu telah sampai di sasarannya, maka serta merta orang yang punya hati tulus ikhlas pasti akan tertarik, simpatik, dan malah akan mendukung ide-ide kebaikannya.

Sehingga, sebenarnya menulis tidak lain adalah berjuang untuk membawa umat manusia yang saat ini sedang berada dalam kegelapan, menuju jalan kebenaran yang penuh dengan pencerahan. Bagi orang yang tidak tahu, adakalanya berpikir, bahwa menulis itu kurang efektif dalam mengubah masyarakat. Akibatnya, golongan ini lebih menitikberatkan perjuangannya kepada perbuatan saja, kepada lisan saja.

Apabila kita menyusuri para pen­dahulu kita, yang telah berhasil menelurkan ide-idenya dalam ben­tuk tulisan dan dibaca hingga kini, maka kita akan memandang mereka seolah-olah mereka tidak pernah mati. Mereka memang telah tiada, tapi karya-karya mereka sampai sekarang masih tetap ada, dicetak ratusan, bahkan ribuan eksemplar dalam berbagai bahasa umat manusia. “Umur” karya mereka menjadi lebih abadi ketimbang hanya ceramah di hadapan umat. Begitulah pentingnya berjuang dengan menulis.

Oleh karena itu, saya rasa, dengan menulis kita sebenar­nya bisa berjuang lewat pembumian ide-ide dalam bentuk kata-kata, tidak ada salahnya lewat tulisan singkat ini, marilah kita berjuang lewat tulisan! Berjuang mengubah masyarakat lewat hati, kepala, jemari, kata-kata (senjata kita) dan tinta-tinta kita!

Karena kata adalah senjata, maka marilah kita panggul senjata itu dan tembakkan kepada sasaran dengan jitu. Ya, karena kata adalah benar-benar senjata untuk melumpuhkan segala kemunduran, maka marilah kita borong senjata-senjata itu untuk memenangkan pertarungan sengit antara kemajuan dan kemunduran. Karena kata adalah senjata, maka bagi siapa saja yang nuraninya masih menyala, akalnya masih sehat, kemampuannya masih ada, marilah kita berjuang.***

Senang Menulis dan berjuang Lewat Tulisan

Menulis adalah mencipta, dalam suatu penciptaan seseorang mengarahkan tidak hanya semua pengetahuan, daya, dan kemampuannya saja, tetapi ia sertakan seluruh jiwa dan nafas hidupnya.
[Stephen King]

Saya termasuk orang yang senang mengumpulkan ungkapan-ungkapan bijak dan orang-orang sukses di bidang­nya. Salah satunya adalah ungkapan seorang penulis buku best seller bernama Andrias Harefa. Mengenai kemauan atau bakat di bidang tulis-menulis, ia pernah berkata, “Yang mungkin diperlukan bukanlah suatu ‘bakat’ istimewa, tetapi lebih pada keinginan dan minat yang besar untuk mau belajar, membangun kebiasaan menuangkan gagasan lewat tulisan.”

Apa yang diungkapkan Andrias Herefa, setidaknya sesuai dengan apa yang saya lakukan dengan selalu mengasah hobi saya menuliskan gagasan-gagasan. Dan sungguh, saya tidak pernah membayangkan sebelumnya, bahwa di kemudian hari saya bisa menulis beberapa buku seperti sekarang ini. Padahal, saya tidak pernah mendalami ilmu tulis-menulis pada awalnya. Dengan latar belakang kuliah saya di jurusan Akuntansi di sebuah Universitas Negeri, orang pasti menganggap, saya hanya bakat menghitung debit dan kredit. Namun, tanpa diduga, ternyata saya juga bisa menjadi seorang penulis.

Pada awalnya, mungkin banyak orang bertanya menge­nai ada tidaknya bakat saya di dunia penulisan. Karena me­mang, hampir dalam setiap pembahasan mengenai tulis-menulis, orang selalu bertanya atau berargumentasi, soal perlu tidak­nya bakat menulis. Namun, sebenarnya, perdebatan apakah seseorang perlu ada bakat dulu baru bicara menulis buku, sesungguhnya tidak berguna. Katakanlah Anda memvonis diri Anda tidak berbakat, kemudian orang lain ikut-ikutan dengan cap yang Anda buat tadi, maka menulis buku bagi Anda tentulah hanya akan menjadi mimpi belaka.

Jika Anda sudah lebih dulu memvonis diri Anda tak berbakat menulis, tak mampu menulis, tak ada waktu menulis, tak ada ide untuk ditulis, maka jangan harap Anda bisa mem­buat buku. Soal mampu atau tidak mampu, bakat atau tidak bakat, kadang itu hanya soal konstruksi mental yang keliru. Jika konstruksi mental sudah tidak pas, biasanya Anda akan sulit melihat peluang-peluang yang bisa Anda manfaatkan untuk merealisasikan gagasan-gagasan Anda.

Jadi, pada dasarnya, hal terpenting untuk dibenahi terlebih dahulu adalah keyakinan kita, dan berfikir positif, bahwa menulis buku itu tidak sesulit yang kita duga, atau tidak memerlukan kemampuan-kemampuan yang melebihi rata-rata orang. Pengalaman saya yang tidak pernah mendalami seni penulisan buku, atau mengambil kuliah di jurusan sastra, bisa dijadikan pelajaran bagi kita semua, bahwa semua orang bisa menulis buku, dengan satu dan lain cara.

Contoh latar belakang saya telah membukakan wawasan kita, bahwa dari segala macam profesi, latar belakang sosial, pendidikan, bahkan latar belakang usia pun, tak menghalangi orang untuk menulis buku.

Keberhasilan seseorang menuangkan gagasan-gagasan ke dalam sebuah buku, tidaklah turun dari langit, namun memerlukan pembelajaran dan minat. Walaupun profesi saya sebagai PNS, yang sibuk dengan kebijakan-kebijakan di pemerintahan, namun saya senantiasa meluangkan waktu untuk mengasah kemampuan menulis saya melalui berbagai hal, seperti menulis buku harian, surat cinta, menulis puisi, mem­buat pantun, membuat ringkasan, menulis paper, menulis resensi buku, menyusun rencana bisnis, menulis laporan, membuat presentasi, dan sebagainya. Dengan demikian, saya secara tidak sengaja, telah memupuk bakat menulis, karena ini semua merupakan cikal-bakal kemampuan menulis yang sangat potensial.

Selain itu, kemampuan menulis buku juga ditentukan oleh keahlian atau minat kita pada bidang tertentu. Walaupun kita tak pernah menulis sama sekali, tetapi umumnya masing-masing dari kita adalah orang yang menguasai satu bidang tertentu yang unik, menerjuni profesi tertentu, memiliki hobi yang menarik, memiliki kemampuan-kemampuan khusus yang layak jual, suka mendiskusikan hal-hal tersebut, suka mengajari orang lain untuk melakukannya, dan kita sangat menyukai bidang-bidang tadi. Bila itu terjadi, maka sesungguhnya, pe­luang menulis buku juga sangat besar.

Begitu juga saya, saya bisa dikatakan memahami bidang kepemerintahan dan reformasi birokrasi. Kemudian, saya per­­caya, bahwa ke­ah­lian saya di bidang itu saat ini dibutuhkan berbagai pemerintahan daerah yang sedang giat menerapkan praktik good governance dan reformasi birokrasi. Kemudian, saya meyakini, bahwa hal itu layak untuk ditulis dan dipublikasikan. Maka akhirnya, banyak pihak yang berkepentingan dengan ‘keahlian’ saya itu, untuk menjadi modal besar bagi perwujudan sebuah buku. Sehingga, bisa dikatakan, bahwa berbekal apa yang sudah ada dalam diri sendiri pun, kita sudah siap mengarungi proses penulisan buku yang sangat mengesankan.

Pada awalnya, saya sering mengatakan dalam diri sen­diri, “Saya ingin menjadi penulis, tapi rasanya kok sulit sekali, karena saya merasa tidak punya bakat.” Dan dulu, saya selalu menjawab ucapan seperti ini dengan perkataan, “Bakat itu tidak penting. Yang penting adalah kerja keras dan motivasi yang kuat.” Dan setidaknya, hal itu bisa dibuktikan dengan keberhasilan saya menulis beberapa buku.***

Terjun Di Dunia Penulisan

Imam Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan:
“Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” Itulah sebabnya, dengan menulis kita mendapat banyak ilmu yang bisa disampaikan lagi.

Menulis di sini diartikan sebagai “Kegiatan menuangkan gagasan, ide, pendapat, penga­laman, perasaan, pengetahuan, dalam bentuk tertulis, untuk dikomunikasikan kepada publik atau orang banyak, melalui media massa, dalam hal ini media massa cetak, baik berupa koran, tabloid, maupun majalah.” (Badiatul Muchlisin Asti, dalam bukunya Da’i Bersenjata Pena).

Menulis dalam artian di atas, memiliki banyak manfaat. Di antaranya adalah manfaat eksistensi, ekspresi, dan ekonomi. Dengan menulis di koran atau buku, eksistensi seseorang akan semakin diakui. Tak jarang seorang penulis menjadi pesohor atau populer di mata masyarakat, karena tulisan-tulisannya yang disukai masyarakat.

Menulis juga merupakan sarana ekspresi, yaitu meng­ekspresikan ide atau gagasan ke tengah-tengah ma­syarakat. Seorang penulis tak perlu mengumpulkan massa untuk memperdengarkan idenya kepada masyarakat. Namun, cukup dengan menulis artikel di koran atau majalah, yang itu bisa dikerjakan di rumah saja, ia sudah bisa mempengaruhi banyak orang. Tulisannya yang dimuat di koran atau majalah, dibaca oleh ribuan orang di berbagai tempat dan keadaan. Itulah kekuatan dari sebuah tulisan yang dapat menembus ruang dan waktu.

Yang tak kalah pentingnya, menulis juga memiliki man­­faat secara ekonomi. Banyak penulis yang kaya raya dan mam­pu meraup pundi-pundi uang dari hasil tulisan-tulisannya. Sudah banyak penulis, baik dari dalam maupun luar negeri yang telah membuktikannya. Mereka menjadi jutawan, bahkan milyader, dari aktivitas kepenulisannya.

Sayangnya, menulis yang memiliki banyak manfaat luar biasa itu, tak banyak orang yang tertarik melakukannya. Alasannya, karena menulis semacam itu, dianggap sebagai sesuatu yang sulit dan hanya orang yang berbakatlah yang bisa melakukannya. Benarkah demikian?

Jawabannya adalah “Tidak”. Setidaknya, jawaban itu be­rangkat dari pengalaman saya. Sebagai PNS, dengan latar be­lakang pendidikan akuntansi, rasanya tidak ada yang me­nyangka, bahwa saya bisa menjadi seorang penulis dengan produktivitas yang cukup tinggi, di tengah kesibukan sebagai PNS yang luar biasa. Bagaimana itu bisa terjadi? Tulisan-tulisan berikut ini akan menjawabnya. Mudah-mudahan bermanfaat.***

Kejahatan Dibalas Dengan Kebaikan

Marah itu gampang. Tapi marah kepada siapa, dengan kadar kemarahan yang pas, pada saat dan tujuan yang tepat, serta dengan cara yang benar itu yang sulit.
(Aristoteles)

Saya sejak awal dididik keluarga untuk menjadi orang yang tidak pendendam. “Apa pun kejahatan atau keburukan yang orang lain perbuat kepada kamu, usahakan balas dengan perbuatan baik, walau jangan dilupakan kejahatannya.” Itulah pesan ibu saya kepada anak-anaknya yang selalu saya ingat sampai sekarang.

Pada waktu kecil, saya memang heran de­ngan pesan tersebut. “Masak sih, orang sudah berbuat jahat kepada kita, tapi kita balas de­ngan kebaikan?” tanya saya di dalam hati.

Dengan pesan itu, saya berusaha menguatkan diri un­tuk tidak menjadi penden­dam atas keburukan orang kepada saya. Pernah suatu keatika saya dikecewakan orang, dikhianati, dan ditinggalkan. Tapi, saya berupaya sekuat tenaga untuk tidak membalas dengan keburukan pula. Sesuai pesan ibu, saya harus memaafkan dan selalu berusaha menjaga tali silaturahmi.

Dan ternyata, manfaat pesan ibu saya itu, pada akhirnya memang terbukti, bahwa membalas perlakuan buruk orang lain kepada kita dengan kebaikan, merupakan balasan yang sebenarnya akan membuat malu orang tersebut. Sehingga membuat mereka menyadari perbuatan salahnya.

Kepada mereka yang telah berlaku buruk kepada saya, saya justru menghaturkan beribu-ribu terima kasih. Saya merasa, melalui perlakuan buruknya itu, secara tidak langsung telah memberikan perubahan di dalam hidup saya untuk menjadi lebih baik lagi.

Saya berfikir, mungkin tanpa adanya perlakuan itu, saya tidak bisa melakukan apa-apa hari ini. Saya mungkin tidak bisa memiliki lembaga penerbitan dan melahirkan beberapa buku hasil karya sendiri, serta memiliki relasi dengan tokoh-tokoh besar. Bahkan, saya biasa memberikan hasil karya buku-buku yang pernah saya tulis kepada orang-orang yang pernah mengecewakan saya.

Sungguh, sebagai manusia, saya memang punya den­dam, tetapi dendam saya sederhana sekali, yaitu saya ingin membuktikan, bahwa saya juga bisa jauh lebih baik setelah diperlakukan buruk. Dendam saya bukan untuk balas-membalas, tetapi untuk memberikan pelajaran kepada orang yang telah memberikan keburukan, bahwa mereka keliru dalam berbuat hal itu kepada saya.

Dengan begitu, membalasnya dengan berbuat yang lebih baik dan lebih baik, pada akhirnya akan berdampak positif. Bahkan, manfaat membalas keburukan dengan kebaikan, juga pernah dialami orang-orang ternama, seperti yang saya baca di dalam kisah hidup Renald Khasali.

Siapa yang menyangka, seorang pakar manajemen itu, juga pernah tidak lulus di jenjang Sekolah Dasar? Dalam kisahnya, Renald bercerita, bahwa kejadian itu terjadi saat dia duduk di kelas 5 SD. Hidup keluarganya saat itu memang sangat prihatin. Ayahnya, yang menjadi tumpuan keluarga, mengalami jobless. Sedangkan rumahnya, baru saja dijual. Untuk menetap, ia sekeluarga menumpang di rumah kerabat di Jakarta Pusat. Bahkan, untuk pergi-pulang sekolah, ia dan adik-kakak harus menumpang bus kota.

Pagi buta sekitar pukul 04.00 dini hari, ia sudah harus siap-siap berangkat menumpang kendaraan omprengan dari arah Salemba menuju Blok A. Dari sana, ia berjalan kaki menuju sekolah. Kondisi seperti itu pada dasarnya merupakan cobaan berat bagi seorang anak kecil yang harus mengalami keterkejutan, karena perubahan pola hidup, dari yang serba mudah menjadi serba sulit.

Pada awalnya, ia tidak kesulitan berangkat sekolah, namun setelah terjadi perubahan pola hidup itu, ia harus naik bus setiap hari, berdesak-desakan di antara orang-orang dewasa di dalam bus, yang pengap, dan mengejar bus yang kondekturnya tidak suka menerima anak-anak SD, karena praktis mereka cuma membayar separuh harga. Selain itu, jika bus mogok di daerah Jembatan Semanggi, dia pun harus pindah bus. Celakanya, jarang sekali bus yang mau menampung, karena bus mereka pun sudah penuh.

Keadaan tidak lebih baik pada saat ia sampai di rumah, karena penerangan sudah gelap, praktis ia tidak sempat belajar. Selain listriknya tidak kuat, ia sudah sangat keletihan. Dengan ketidaksanggupan menghadapi perubahan pola hidup yang mendadak seperti itu, tidak heran jika saat menerima raport, ia melihat angka-angkanya “kebakaran” (banyak merahnya). Renald Khasali kecil pun menangis hebat menerima ketidaklulusannya, karena merasa benar-benar bodoh dan merasa telah menambah berat penderitaan ibunya yang setiap hari bersusah payah mencari ongkos untuk sekolahnya.

Betapa sakit hati ia dengan gurunya saat itu. Namun, dengan ketidaklulusannya, Renald Khasali tidak merasa perlu balas dendam dengan melakukan keburukan kepada gurunya. Dia hanya bertekad untuk melakukan “dendam” dengan cara membuktikan, bahwa penilaian gurunya adalah keliru.

Sejak itu, di kelas yang sama tahun berikutnya, dia mulai tidak banyak bicara. Pada awalnya, ia memang termasuk anak bandel dan suka bermain. Namun, setelah tidak diluluskan, ia telah berubah menjadi rajin, sehingga menjadi lebih berprestasi. la merasa dendamnya terbalas ketika guru yang tidak meluluskannya itu datang mengajar di kelasnya dan melihat sendiri perubahan luar biasa pada dirinya.

Renald Khasali baru benar-benar merasa bila “dendamnya” telah terbalaskan sepenuhnya ketika ia diundang reuni di Hotel Grand Mahakam. Dia merasa bangga, karena ia telah menjadi salah satu alumni yang berhasil menjadi tokoh terkemuka di Indonesia karena keilmuannya. Keburukan yang dibalas Kasali kecil dengan kebaikan pada akhirnya berbuah manis.

Dengan mempelajari pengalaman pribadi dan orang lain mengenai manfaat memberikan balasan kepada perlakuan buruk dengan kebaikan, maka saya benar-benar telah mera­sakan perubahan ke arah kehidupan yang lebih sukses.

Mari kita camkan perkataan orang bijak ini, “Sukses bukanlah seberapa tinggi bukit yang Anda raih, melainkan, kalau Anda jatuh ke bawah, seberapa cepat Anda bisa kembali.” Sungguh untaian kalimat yang dahsyat dan luar biasa!

***

Kerja Keras Mewujudkan Impian

Keberhasilan adalah kemampuan untuk melewati dan mengatasi dari satu kegagalan ke kegagalan berikutnya tanpa kehilangan semangat.
(Winston Chuchill)

Saya menyadari, bahwa untuk mewujudkan sesuatu yang telah saya impikan, membutuhkan adanya keseimbangan antara akal dan perasaan dalam memilih, mana yang dapat dilaksanakan dan dapat dicapai. Kesuksesan meraih ambisi bukanlah suatu yang datang secara tiba-tiba, namun telah menjadi sebuah hal yang memiliki dasar, dan membantu seseorang untuk dapat meraihnya.

Menurut saya, untuk bisa sukses meraih ambisi yang kita kehendaki, adalah dengan menyertakan dua factor penting dan menonjol yang harus dimiliki oleh seseorang dalam bekerja, yaitu: akal dan perasaan. Atau sebut saja pemikiran dan insting.

Kesuksesan kita meraih ambisi yang kita inginkan, tergantung dari sejauhmana kita bisa menjaga keseimbangan kedua potensi itu, menjaga sikap yang moderat dalam kedua hal itu, adalah faktor pendukung terciptanya kesuksesan dalam bekerja. Sikap moderat yang benar, artinya seseorang tidak tunduk secara penuh kepada satu sisi, baik itu pikirannya atau instingnya. Juga tidak memaksakan dirinya untuk mengikuti realitas tanpa memperhatikan perasaan dan instingnya.

Sehingga, dari hal itu kita ketahui, bahwa untuk mencapai tujuan dan mewujudkan ambisinya, seseorang harus mem­buat rancangan yang praktis. Rancangan yang secara garis besar berisi berbagai potensi pribadinya, kecenderungan dirinya yang dalam dan benar, juga kondisi kehidupan yang dia hadapi.

Selain itu, ketika kita tengah berusaha untuk meraih apa yang kita inginkan, atau apa yang kita ingin wujudkan kita harus memiliki gambaran yang jelas tentang berbagai manfaat yang kita harap dapat kita raih, tanpa melupakan berbagai kesulitan, rintangan, dan kendala yang mungkin akan menghadang kita.

Dalam pengalaman saya, membuat sebuah rancangan yang praktis secara garis besar sangat menentukan keberhasilan meraih ambisi. Mengingat dalam penyusunan rancangan itu, kita sudah mulai bergerak untuk mewujudkannya secara bertahap dan perlahan-lahan. Yaitu, dengan memperhatikan secara serius berbagai kendala yang dihadapi, dan dijadikan sebagai suatu kesempatan untuk menyimpan metode kerja yang ditempuh dalam otak.

Selalu mempelajari bagaimana cara memperbaiki metode kerjanya dengan menggunakan otak untuk memuaskan perasaan. Hal ini sebagai upaya untuk menyelaraskan antara realitas yang dihadapi dan berbagai ambisi yang diinginkan untuk diwujudkan.

Namun, untuk mewujudkan ambisi, tidak tergantung pe­nuh kepada pemikiran yang terburu-buru, juga kepada perasaan yang dangkal. Sehingga dalam menyusun rancangan, kita harus benar-benar mendalam dan cermat. Karena tercapainya am­bi­si itu bergantung penuh kepada keinginan yang kuat, praktis, konsisten, dan luwes, yang selalu berusaha memadukan antara­ akal dan pikiran. Pada akhirnya, hal itu akan membuat jiwa menjadi tenang, sehingga mampu mewujudkan tujuannya.

Salah satu usaha untuk membuat rancangan yang mendalam, untuk mencapai ambisi kita adalah dengan mengetahui berbagai ciri kepribadian menurut pandangan kita, baik itu berbagai kelebihan maupun kekurangan. Dan selanjutnya, kita pasti akan secara jujur mengetahui segala kekurangan yang dimiliki. Maka, usahakanlah untuk membuangnya, setelah kita mampu menjelaskan kekurangan yang ingin kita buang tersebut. Juga jelas cara apa yang akan kita tempuh untuk melakukannya.

Selain kita mampu membuat catatan tentang berbagai kekurangan yang ingin kita buang dari diri kita tersebut, maka kita juga perlu mencatat berbagai kelebihan yang ingin kita tambahkan bagi diri kita. Sehingga hal itu dapat menjadi karakteristik kepribadian kita. Kemudian catat berbagai ke­ingin­an dan tuntutan yang ingin kita capai bagi diri dan kehidupan kita. Catat hal tersebut dengan serius dan teliti.

Jadi, dengan menjaga keseimbangan antara pikiran dan perasaan, ditambah kemampuan merancang berbagai ciri diri kita, dan beberapa langkah yang akan kita lakukan tadi, maka hal tersebut bisa dijadikan sebagai titik tolak untuk mewujudkan berbagai ambisi.

Kekuatan Impian

Ketika hatimu telah bulat untuk meraih mimpi. Tak ada lagi yang mampu mengalahkanmu. Kekuatanmu yang tersembunyi selama ini akan keluar, mengalir deras.
Lihatlah, orang-orang sukses di sekitarmu. Mereka adalah pribadi-pribadi yang tangguh, pantang menyerah, dan tak pernah dikalahkan dengan kondisi apa pun.
Hidup harus mampu mewujudkan mimpimu karena disitulah yang membedakan orang biasa dengan orang luar biasa. Teruslah mengejar mimpimu, jangan berhenti melangkah.

Senin, 07 Februari 2011

Menjadikan Pekerjaan Sebagai Hobi

Bila Anda ingin bahagia,
buatlah tujuan yang bisa mengendalikan pikiran,
melepaskan tenaga, serta mengilhami harapan Anda,
(Andrew Carnegie).

Jika ada pertanyaan, kerja yang bagaimana yang bisa membuat kita senang atau enjoy, dan merasa tidak tertekan? Kalau saya boleh menjawabnya, tentu suatu pekerjaan, yang pekerjaan itu merupakan bagian dari hobi kita. Karena jika suatu pekerjaan yang lahir berawal dari suatu kebutuhan dasar hidup manusia atau suatu keterpaksaan, maka itu akan membuahkan kualitas kerja yang rendah pula.

Selama ini terkadang kita tidak menyadari, bahwa ketidaknyamanan terhadap pekerjaan yang kita jalani berawal dari hilangnya rasa menikmati dalam pekerjaan itu. Sehingga yang dihasilkan bukannya sesuatu yang gemilang, namun malah tekanan jiwa atau mungkin stress karena pekerjaan kita.

Oleh karena itu, mulai sekarang, jika Anda termasuk orang yang mempunyai pekerjaan berawal dari keterpaksaan, maka sedini mungkin mulailah mencintai pekerjaan Anda. Buatlah ia sebagai hobi kita, tempat kita menyalurkan kegemaran diri kita sendiri. Dan setelah itu, lihatlah hasil positif yang dicapainya.

Menjadikan pekerjaan sebagai hobi kita, setidaknya mem­bantu menghasilkan kenikmatan di dalam menjalani hidup ini. Karena telah dibuktikan, bahwa menjalankan suatu hobi dapat menambah kenikmatan hidup manusia, dan memberikan pengaruh yang positif, serta menciptakan pengalaman yang baru dan usaha yang mendatangkan hasil. Sedangkan, orang-orang yang tidak menjalankan hobi apa pun, akan merasakan waktu berjalan dengan lambat dan membosankan. Sehingga, membuat mereka terpaksa memikirkan berbagai proble­ma­ti­ka yang membuat bosan bahkan stress.

Dan jika Anda memang mempunyai pekerjaan yang berawal dari hobi, maka konsistenlah, karena hobi, menurut saya, lahir dari minat dan bakat seseorang, sehingga hal itu akan bisa melahirkan kualitas kerja yg bagus. Semua pekerjaan yang dilandasi dengan hobi dengan demikian akan memberikan kenikmatan dan membuat kita merasa berarti dalam hidup ini.
Atas dasar inilah, saya berani menyimpulkan, jika peker­jaan berlandaskan minat atau hobi, akan bisa membawa kepada jalur yang lebih baik. Kesimpulan saya itu tidak lahir dari ruang hampa atau jatuh dari langit. Hal itu berawal dari perenungan pribadi tentang pekerjaan dan profesi saya selama ini.

Sebagai seorang yang pernah berprofesi sebagai wartawan dan pengelola di salah satu media instansi pemerintahan, pada awalnya saya merasa rendah jika dibandingkan dengan profesi teman-teman saya yang sudah memiliki jabatan tinggi. Namun, saya berpikir, pekerjaan inilah yang bisa menyalurkan bakat dan hobi saya, dengan menulis beberapa hal yang berkaitan dengan kebijakan negara. Dengan demikian, saya akan mampu menyumbangkan berbagai pemikiran saya demi kebaikan Negara.

Sebenarnya, pengalaman pribadi saya itu telah terbukti di banyak orang yang berusaha menjadikan pekerjaan sebagai hobi. Tak jarang kita lihat seseorang yang bertitel dokter, malahan berkarya di bidang entertainment, hanya karena terbiasa menyanyi sejak kecil. Ada juga mereka yang memiliki latar belakang akademis tinggi (S2 atau S3) malah banting stir jadi pengusaha tahu. Apakah yang sebenarnya terjadi? Tak dapat dipungkiri, bahwa setiap orang mendambakan pekerjaan yang dianggap ideal, baik dari segi jabatan atau pun financial.

Dari situ saya merenung, bahwa saya memiliki hobi dan bakat menulis di bidang kebijakan publik dan reformasi birokrasi, dan mungkin keahlian saya itu sangat diperlukan berbagai kalangan, baik itu pemerintah pusat maupun daerah. Sehingga, jika saya punya skill yang cukup, mengapa tidak berkomitmen dalam pekerjaan itu?

Bekerja atas dasar hobi sangat berkaitan dengan tingkat produktivitas. Banyak orang mengeluh, bosan, capek, malas untuk bekerja. Semua itu terjadi, karena pekerjaan yang mereka tekuni selama ini, belum sesuai dengan hobinya (hatinya). Bila kita termasuk orang yang mudah bosan, maka merasa memiliki hobi dalam suatu pekerjaan sangatlah cocok. Siapa pun tahu, ketika mengerjakan sesuatu yang disukai, maka pekerjaan tersebut tak akan terasa seperti beban berat yang harus dipikul setiap harinya.***

Senantiasa Berfikir Positif

Yang baik bagi orang lain adalah selalu yang betul-betul membahagiakannya.
(Aristoteles)

Kita menyadari, sebagai manusia pasti selalu mengha­dapi masalah. Karena selama ada kehidupan, maka selama itu pulalah ada berbagai problem dan krisis yang menghadang. Namun, kita harus menyadari, bahwa keberhasilan yang dapat kita capai akan dapat diukur oleh sejauh mana kita dapat menga­tasi berbagai persoalan hidup.

Salah satu langkah terbaik yang perlu dilakukan untuk membuat diri kita mampu untuk menikmati hidup, walaupun di sekeliling kita ada beragam tantangan dan masalah adalah dengan berfikir positif. Hal ini penting, untuk menjadikan diri kita mampu bersaing dan mewujudkan berbagai cita-cita.

Berfikir positif adalah sebuah langkah praktis yang harus diikuti dengan memberikan respons terhadap segala sesuatu yang indah yang ada di sekeliling, melalui hal-hal indah yang ada dalam kehidupan. Ingatlah selalu, bahwa sebagai manusia, kita memiliki kewajiban untuk menikmati semua kenikmatan dan keindahan hidup yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita. Mengingat baik atau buruknya kesan hidup kita hari ini tergantung penilaian dan pilihan kita sendiri.

Setidaknya, keinginan saya untuk selalu berfikir positif setiap hari, sedikit banyak terinspirasi oleh untaian kalimat-kalimat bijak yang saya baca dari buku Etos Kerja Islami karya K.H. Toto Tasmara. Untaian kalimat itu mengandung arti, bahwa pikiran adalah sumber yang penting dalam mengubah hidup ini. Rangkaian untaian kalimat bijak itu adalah:

Ubahlah Pikiran Anda
Bila Anda mengubah pikiran Anda
Anda mengubah keyakinan diri Anda
Bila Anda mengubah keyakinan diri Anda
Anda mengubah harapan-harapan Anda
Bila Anda mengubah harapan-harapan Anda
Anda mengubah sikap Anda
Bila Anda mengubah sikap Anda
Anda akan mengubah tingkah laku Anda
Bila Anda mengubah tingkah laku Anda
Anda mengubah kinerja Anda
Bila Anda mengubah kinerja Anda
Anda telah mengubah nasib Anda
Bila Anda mengubah nasib Anda
Anda telah mengubah hidup Anda.

Jadi, pada dasarnya, pikiran memegang peran penting dalam menentukan hidup ini. Oleh karena itu, saya menyadari, bahwa salah satu cara efektif memanfaatkan pikiran kita secara positif adalah dengan selalu berusaha berpikir positif. Setidaknya manfaat berpikir positif dalam menghadapi segala sesuatu yang belum terjadi di dalam hidup ini, saya lakukan, sehingga tidak merasa cemas menghadapi hari esok.

Saya sekarang menyadari, bahwa untuk mengatasi ber­bagai problem dan krisis adalah jangan berusaha untuk memprediksikan secara negatif berbagai persoalan sebelum hal itu benar-benar terjadi.

Bagi saya, di dalam hidup ini haruslah memiliki jiwa ­yang optimis dan merdeka. Tidak ada kreativitas bagi jiwa yang terbelenggu atau jumud, karena pikiran negatif yang belum tentu akan terjadi. Berpikirlah selalu dalam jalur yang positif, bahwa kita akan selalu di dalam kebaikan. Setidaknya, ide untuk selalu berpikir positif itu terinspirasi ketika saya mendapatkan sebuah puisi dari seorang teman yang ditulis dalam bahasa Inggris, yang pengarangnya tidak dikenal. Puisi yang sangat menyentuh jiwa. Puisinya sebagai berikut:

Ya, Aku Bisa!
Bila Anda berpikir Anda kalah, ya Anda kalah
Bila Anda berpikir Anda tidak berani, ya tidak berani
Bila Anda ingin menang, tapi berpikir Anda bakal tidak menang
Hampir dipastikan Anda bakal tidak menang
Bila Anda berpikir Anda akan gagal, sesungguhnya Anda telah gagal
Sebab di dunia telah Kami temukan
Bahwa sukses dimulai dengan keinginan seseorang
Semuanya itu masalah cara berpikir
Bila Anda berpikir Anda disisihkan, Maka Anda akan tersisihkan, Anda harus berpikir tinggi untuk menjulang
Terlebih dahulu Anda harus yakin pada diri sendiri, Sebelum Anda mendapatkan piala
Perjuangan dalam hidup ini tidak selamanya dimenangkan oleh mereka yang kuat dan cepat
Tetapi cepat atau lambat, orang yang menang itu
Adalah mereka yang berpikir dan berkata: Ya aku bisa!

Dengan merenungkan pesan dari setiap baris puisi itu, saya selalu mengajak diri saya untuk tidak memusatkan pikiran pada hal-hal negatif, yang mungkin saya rasakan nanti, karena akan menjadikan permasalahan itu semakin membesar, dan rasa takut yang saya rasakan akan semakin bertambah. Maka, jangan sampai suatu persoalan kita pikirkan secara negatif, sebelum hal itu benar-benar terjadi.

Memanfaatkan Waktu Secara Produktif

Bila Anda ingin bahagia, buatlah tujuan yang bisa mengendalikan pikiran,
melepaskan tenaga, serta mengilhami harapan Anda,

(Andrew Carnegie).

Mengenai pentingnya memanfaatkan waktu, saya terinspirasi kata-kata bijak Benyamin Franklin, “Dost you love life? Then do not squander time, for that is the stuff life is made of.” Apakah Anda mencintai kehidupan? Maka, janganlah memboroskan waktu, sebab waktu merupakan bahan pembentuk kehidupan.

Dari sebuah buku yang pernah saya baca dikatakan bahwa , waktu ibarat sehelai kertas kehidupan yang harus ditulis dengan deretan kalimat kerja dan prestasi. Hidup akan terasa hampa apabila waktu tidak diisi dengan kreasi dan kerja keras. Sungguh merugi bila waktu berlalu begitu saja tanpa mempunyai nilai apa pun. Bila sampai saat ini Anda berumur 35 tahun, seharusnya ada 35 jilid kehidupan yang berjudul nama Anda. Setiap jilid itu terdiri atas 12 bab, 365 halaman, dan setiap halaman terdiri atas 24 baris atau 8.760 kata setiap jilidnya. Apakah baris-baris itu penuh dengan cerita yang “exciting (panas)”, kisah tentang persaingan, kisah perjalanan menuju perpustakaan, diskusi, membaca, dan lain-lain, ataukah hanya deretan kisah tentang tidur, sakit, atau bermalas-malasan. Atau, setiap lembarnya justru kosong tidak berisi tulisan apa pun! Lantas, bagaimana Anda akan berkata pada para pembaca kehidupan Anda bila setiap lembarnya penuh dengan kertas kosong?

Menghargai wak­tu adalah kunci ke­ber­hasilan dalam hi­dup. Sebuah pepatah mengatakan, waktu iba­rat pedang, jika tidak kita gunakan untuk me­motong, waktu itu akan balik memotong kita. Waktu juga adalah uang. Tentu saja, uang bukanlah segala-galanya, tapi tanpa uang, segala-galanya menjadi tidak dapat kita raih. Di atas itu semua, waktu adalah ibadah, pengabdian pada Sang Pencipta. Dan menjadi pribadi yang mampu memberi manfaat bagi diri dan sesama adalah bagian dari ibadah itu sendiri. Agama mengajarkan agar kita tidak menjadi beban bagi orang lain. Dengan kata lain, kita harus mampu mandiri. Kemandirian dapat terbangun melalui sikap menghargai waktu.

Jika kita berada di waktu pagi, maka janganlah menunda pekerjaan hingga waktu sore tiba. Orang-orang bijak sering mengatakan, sungguh merugi orang yang hari ini kondisinya sama dengan hari kemarin, dan hari esok lebih buruk dari hari ini. Setiap berganti hari hendaknya kualitas prestasi pun semakin meningkat.

Jadi, hari dan umur kita adalah saat sekarang ini di mana matahari menaungi kita, bukan kemarin dan bukan besok. Karena itu jadikanlah kehidupan kita pada saat ini sebagai kehidupan. Dengan begitu kehidupan kita tidak akan terpengaruh oleh bisikan kegundahan, kesedihan dan kesusahan masa lalu. la juga tidak akan terpengaruh oleh ramalan masa yang akan datang dengan berbagai hantu dan kemajuan yang mengkhawatirkan itu. Jadi, mantapkan diri kita, fokuskan perhatian kita, gunakan ketekunan kita, manfaatkan kreatifitas dan keuletan kita untuk kehidupan pada hari ini, bukan untuk hari kemarin dan besok.

Untuk hari ini kita harus bisa membagi waktu. Hari ini kita harus bisa menanamkan kebaikan, memberikan yang terbaik dan mempersiapkan diri untuk pergi setiap saat. Jalani kehidupan kita dengan penuh kebahagiaan, kesenangan, ketenangan dan ketentraman. Pada dasarnya, usia adalah perjalanan waktu, kita butuh waktu untuk melangsungkan suatu tugas tertentu, apa pun yang terjadi di alam ini tidak mungkin lepas dari campur tangan waktu. Tak pelak lagi, waktu merupakan salah satu dimensi utama di alam ini. Agaknya, kita semua sepakat, kalau waktu sangatlah penting buat kita. Bahkan banyak yang berkata, bahwa waktu itu adalah uang (time is money).

Saya selalu mengingat sebuah kisah unik untuk me­nyegarkan kembali pentingnya makna waktu dalam hidup ini. Suatu saat, seorang sosiolog ditanya tentang sesuatu yang diperlukan oleh manusia agar ia berhasil dan berprestasi, serta mampu mewujudkan obsesi-obsesinya. Apakah kecerdasan? Apakah kelincahan? Apakah uang yang ia miliki? Sosiolog itu segera memotong pertanyaan ini. Dia berkata, “Saya memo­tong pertanyaan Anda bukan karena tidak ingin memberikan kesempatan kepada Anda untuk berbicara secara sempurna. Namun, saya dapati bahwa saya mesti mempergunakan waktu dengan baik. Sehingga saya mempunyai kesempatan untuk berbicara kepada Anda tentang sesuatu yang paling penting yang sering dilalaikan, meskipun ia amat penting bagi manusia agar ia berhasil. Hal itu adalah ‘waktu yang tepat’. Maksudnya, mempergunakan waktu untuk sesuatu yang tepat bagi waktu tersebut.”

Kisah di atas sangat menginspirasi saya, bahwa pe­ngendalian saya atas waktu merupakan salah satu faktor yang membuat saya selama ini bekerja dengan efektif dan menjadi sosok yang berpengaruh dalam kerja. Saya yakin, bahwa kita semua berkeinginan menunaikan pekerjaan kita dengan teliti, di tempat kerja atau di rumah, dan mengatur waktu-waktu kosong dengan cara yang tepat. Hal ini berarti, bahwa ada kemahiran yang harus dimiliki, yaitu “manajemen waktu yang efektif. Karena waktu tidak dapat dihasilkan kembali, tidak dapat diperpanjang, tidak dapat dihentikan, dan tidak dapat diputar ulang.

Kita menyadari, bahwa waktu selalu berjalan setiap saat, teratur tanpa henti, dan pada dasarnya setiap orang telah diberikan bekal waktu yang sama setiap hari. Kedua hal itulah yang mendorong saya untuk selalu berupaya memilih keberhasilan dan prestasi sebagai jalan, untuk menjadikan waktu bekerja demi kepentingan kita. Hal itu saya lakukan dengan cara mendefinisikan apa yang membuang-buang waktu, dan menggunakan batasan waktu yang tertinggi da­lam bekerja, serta menunaikan pelbagai pekerjaan. Maka, beberapa langkah berikut ini saya lakukan, antara lain:

Pertama; Saya selalu berbicara dengan diri sendiri, dan menelaah banyak kejadian pada hari-hari sebelumnya, serta memperhatikannya. Hal itu berdampak positif, karena sedikit banyak akan dapat menyingkapkan dengan tanpa kesulitan dan kelelahan, beberapa waktu yang hilang dari saya dengan sia-sia.

Kedua; Saya meyakini, bahwa menghilangkan kebiasaan menyia-nyiakan waktu, serta tidak menggunakannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, adalah perkara yang penting. Hal itu karena dua sebab: Saya akan dapat menuntaskan pekerjaan yang lebih besar. Dan ketika menuntaskan pekerjaan yang lebih banyak, maka saya akan menjadi lebih percaya diri dan lebih mampu untuk bekerja.

Di dalam ajaran agama Islam yang saya yakini, juga telah terkandung anjuran untuk memanfaatkan waktu secara optimal. Islam mengajarkan saya untuk memanfaatkan waktu dengan iman dan amal-amal prestatif, serta membangun nilai kemanusiaan di atas kebenaran dan kesabaran; sehingga seluruh manusia tidak akan berada dalam kerugian. Lihatlah bagaimana waktu pelaksanaan ibadah shalat diatur sedemikian rupa, mengiringi warna alam yang setiap waktu selalu berubah. Siapa saja yang melewatkan waktu-waktu yang telah ditetapkan itu, maka ia akan kehilangan kesempatan meraih kekuatan di baliknya.

Waktu yang tersedia memang harus digunakan untuk amalan produktif atau bekerja. Menurut Quraish Shihab, kata kerja ‘ashara’ pada mulanya berarti “menekan sesuatu, sehingga apa yang terdapat pada bagian terdalam darinya tampak ke permukaan ke luar.” Dengan kata lain, kata tersebut dapat pula diartikan dengan ‘memeras’.

Dengan pemahaman ini, setiap pribadi muslim diingatkan agar pada setiap sore hari seluruh pekerjaan telah selesai. Segala tugas tidak ada lagi yang tertunda (no pending or delay job) karena ‘ashr berarti memeras sesuatu, sehingga tidak ada lagi air yang menetes. Semua pekerjaan telah tuntas, untuk kemudian diikuti dengan tugas lainnya yaitu beribadah. Spektrum warna pada saat ashr adalah oranye yang memiliki rahasia kreativitas, oleh karena itulah orang yang tak jua menghentikan aktivitasnya bekerja saat waktu ashr ini tiba, maka daya krativitasnya akan hilang. Sebagaimana firman-Nya, “Maka apabila engkau telah selesai dari suatu pekerjaan, maka kerjakanlah urusan yang lain dengan sungguh-sungguh” (al-lnsyirah [94]: 7).

Menurut saya, ajaran Islam yang menghendaki untuk memanfaatkan waktu itu merupakan ajaran universal yang bisa diterima oleh semua golongan, kapan pun dan di mana pun. Seperti saya lihat pada salah satu ciri orang modern yang sangat menyikapi waktu dengan sangat bersungguh-sunguh.

Oleh karena itu, jika ingin diakui sebagai manusia modern, maka saya mau tidak mau harus menggunakan jam tangan yang melingkari lengan ini, bukan sekadar gengsi, melainkan benar-benar menunjukkan fungsi. Bahkan, saya bertekad, bahwa jika ingin dianggap orang modern, maka saya harus rela dibentuk oleh sang waktu. Tidak heran jika hari-hari saya, sejak dari mulai bangun tidur di pagi hari sampai kembali ke tempat tidur di malam hari, telah diusahakan untuk mampu menata waktu dengan kegiatan produktif. Dengan demikian ada semacam alarm system dalam diri saya, kapan harus bangun, kapan harus berangkat kerja, kapan ha­rus begini, dan kapan harus begitu. Dari kebiasaan itu semua, setidaknya saya teringat perkataan dari Peter Burn tentang waktu, bahwa di dalam hidup ini kita harus mampu menata dan mengendalikan waktu dengan kegiatan yang produktif,demi kesuksesan pribadi.

Dari pengalaman pribadi saya mengenai hakikat waktu yang sangat berarti dalam hidup itu, bisa dibilang hidup ini bagaikan kecanduan waktu. Saya menjadi tidak mau ada waktu yang hilang dan terbuang tanpa makna. Jiwa ini seakan merintih bila ada satu detik berlalu makna. Bagi saya, waktu adalah rahmat yang tidak terhitung.

Kesadaran terhadap makna waktu merupakan rasa tanggung jawab yang sangat besar atas kemuliaan hidup. Sebagai konsekuensinya, saya selalu berusaha menjadikan waktu sebagai wadah produktivitas. Ada semacam bisikan dalam jiwa ini agar jangan melewatkan barang sedetik pun kehidupan ini tanpa memberi arti.***

Disiplin Sebagai Kunci Keberhasilan

Kesakitan membuat Anda berpikir. Pikiran membuat Anda bijaksana.
Kebijaksanaan membuat kita bisa bertahan dalam hidup.
(John Pattrick).

Sebuah kalimat bijak menyatakan, “Pada awalnya kitalah yang membentuk kebiasaan, kemudian kebiasaanlah yang membentuk kita.” Dari kalimat bijak itu, kita bisa memperoleh pemahaman, bahwa baik-buruk hidup seseorang tergantung pada kebiasaan yang dibentuknya sendiri. Bila kebiasaan buruk yang dibiasakannya, maka pola hidup yang buruk pulalah yang menjadi kapasitas dalam kehidupannya. Begitu pun sebaliknya.

Termasuk dalam hal kedisiplinan. Hidup disiplin atau tidak disiplin adalah pilihan. Keduanya sama-sama mudah, karena memang tumbuh dari kebiasaan. Disiplin akan terasa sulit bila tidak dibiasakan. Namun sangat mudah bila dibiasakan.

Kebiasaan bangun pagi, misalnya, bagi sebagian orang mungkin terasa ringan. Namun, tidak sedikit pula yang merasakan berat luar biasa. Sikap disiplin hendaknya dimulai dari hal-hal yang terlihat sepele. Bisa Anda bayangkan, bila semua orang disiplin waktu dalam bekerja, maka produktivitas tentu akan semakin meningkat. Setiap bangsa besar dan maju, selalu ditopang oleh budaya disiplin dan etos kerja yang tinggi.

Disiplin biasanya terkait dengan aturan. Artinya, orang disiplin sering disebut sebagai orang yang taat aturan. Namun, kedisiplinan diri pada dasarnya lebih kuat dampaknya bagi kesuksesan bila tumbuh dari kesadaran. Sebab, bukankah aturan formal kerja di kantor misalnya, adalah juga kesepakatan yang telah dengan sadar kita setujui saat awal kita kerja? Bila dasar kesadaran yang kita tumbuhkan, maka di mana pun dan kapan pun, nilai-nilai kedisiplinan akan kita pegang dengan teguh.

Saya mengalami dua jenis kerja yang berbeda dalam waktu bersamaan. Satu sisi, saya adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang setiap hari harus masuk kantor dan mengerjakan tugas-tugas yang diemban. Dan pada saat yang sama, saya juga menyempatkan diri untuk mengisi waktu luang dengan kegiatan yang produktif. Saya mencoba mengisi waktu dengan hobi produktif memimpin tim kreatif, menekuni hobi saya dalam menulis, kemudian saya kembangkan dalam sebuah lembaga penerbitan.

Apa yang saya alami, disiplin di kantor dan di dunia penerbitan, pada dasarnya memiliki nilai yang sama, yaitu kesadaran untuk selalu mengerjakan segala tugas secara teratur, tepat waktu, dan terencana. Hukumnya selalu sama; baik di kantor atau di dunia bisnis, bila tidak disiplin, hasilnya selalu buruk. Namun, sedikit berbeda dengan kerja di kantor, pada saat saya menjalankan usaha penerbitan, tidak ada atasan yang bisa mengingatkan saya ketika saya lalai dan malas.

Di sinilah saya berpikir, dalam bisnis yang dikelola sendiri, alat kontrol agar dapat disiplin, tiada lain adalah diri kita sendiri. Impian kitalah yang akan mengawal, agar kita tetap bekerja dengan gigih, tidak melewatkan waktu sedikit pun untuk hal-hal yang sia-sia alias tidak produktif. Setiap kesempatan selalu dinilai sebagai peluang.

Suatu hari, saya pernah lalai untuk mengambil suatu keputusan atas suatu peluang. Rencana yang telah dibuat sebelumnya, saya tinggalkan begitu saja. Beberapa hari kemudian, saya coba berpikir dan merenung, ternyata saya telah menyia-nyiakan kesempatan untuk meningkat. Semakin saya menunda kesempatan, maka semakin menjauhlah peluang emas itu. Semakin dalam saya hanyut dalam zona nyaman (comfort zone), maka semakin menjauh pulalah impian yang hendak saya capai. Dari situ, saya kembali mencoba membangun sikap disiplin.

Hikmah yang bisa dipetik adalah, bahwa dalam usaha kreatif yang kita bangun sendiri, tidak ada bos yang mengendalikan kita. Kitalah yang menjadi kunci utama tercapainya kesuksesan. Sukses yang diraih adalah buah dari sikap disiplin yang kita tunaikan dan kita kontrol sendiri. Dengan sikap disiplin, kita dapat menunaikan kerja dengan cepat, penuh percaya diri, dan efektif. Hal itu akan membuat kita menjadi sosok yang berprestasi, yang mampu mewujudkan obsesi-obsesi dan impian-impian hidup kita.

Seperti yang telah saya sebutkan di awal, bahwa disiplin adalah kebiasaan. Dengan demikian, bukanlah sebuah sikap disiplin bila merasa terpaksa, misalnya karena takut sanksi dari atasan. Disiplin lebih tepat dimaknai sebagai konsistensi melakukan apa yang sudah kita rencanakan. Bahkan, dalam menyusun rencana pun, kita butuh konsistensi. Artinya, setelah satu rencana ditunaikan, maka kita harus segera menyusun rencana berikutnya, berdasar tujuan umum jangka panjang yang telah kita tetapkan sebelumnya.

Dari apa yang saya alami, goal atau impian itu sendiri penting untuk kita visualisasi atau kita gambarkan secara visual. Tujuan harus konkrit, apa yang ingin kita peroleh; mobil, rumah, pergi ibadah haji, atau lainnya. Gambar-gambar impian inilah yang akan membuat kita tetap fokus dan konsisten dalam bekerja dengan penuh disiplin. Impianlah yang mengendalikan kita meraih sukses, bukan atasan.

Dalam melakukan kebiasaan-kebiasaan baru, butuh kesabaran untuk bersikap disiplin. Di awal, tentu akan terasa berat. Namun, semakin sering kita melakukan kebiasaan baru itu, maka pekerjaan akan terasa semakin ringan. Teorinya sederhana saja. Bukankah sejak kecil kita sudah terbiasa menjalani hal-hal yang baru dan kita terus mencobanya tanpa henti? Dari mulai bayi ketika disapih. Saat awal disapih, bayi selalu menangis keras hampir berhari-hari karena meninggalkan kebiasaan lamanya menyusu. Tapi, lama kelamaan, sang bayi dapat terbiasa makan tanpa disusui lagi.

Itulah dasar pe­ngalaman yang pernah dilalui semua orang. Dan dengan demikian, melewati fase transisi perpindahan dari kebiasaan lama ke kebiasaan baru menjadi fitrah manusia yang akan dilalui di masa-masa berikutnya. Tinggal persoalannya, apakah kita sebagai orang dewasa punya keinginan kuat untuk mengubah kebiasaan lama ataukah tidak? Seberapa besar sikap disiplin kita dalam melakukan kebiasaan baru sebagaimana dulu kita demikian kuat untuk melakukan hal-hal yang baru saat kita kecil?

Salah satu kebiasaan lama saya adalah suka menunda pekerjaan. Mungkin karena selalu meremehkan masalah atau mencoba lari dari beban hidup sejauh mungkin. Namun, pada akhirnya, saya menyadari, sikap ini tidak menyelesaikan masalah, malahan justru semakin mempersulit keadaan. Beban terasa semakin menumpuk, sementara aktivitas lainnya belum juga bisa tertangani. Keadaan ini membuat diri saya menjadi tidak independen. Saya menjadi tak bebas menjalankan aktivitas lainnya.

Kebiasaan lama lainnya adalah sikap takut menghadapi kegagalan. Sikap ini membuat saya tidak mau mencoba tantangan. Takut gagal membuat saya lebih memilih untuk tidak mau belajar dan tidak melakukan hal-hal yang baru. Padahal, lagi-lagi, hal itu sangat bertentangan dengan kehidupan masa kecil kita yang selalu ingin mencoba sesuatu dan tak pernah takut gagal. Ketika awal belajar naik sepeda misalnya, kita tidak pernah bosan, meski telah jatuh berkali-kali? Setiap kali kita jatuh, banyak hal yang bisa kita pelajari, dan kita pun bisa tumbuh meraih apa yang kita harapkan. Belajar dari kegagalan untuk tidak kembali jatuh di lubang yang sama.

Dari sini, sa­ya semakin menya­dari, bahwa orang yang takut gagal, tidak akan pernah terdorong untuk bertindak, bahkan untuk menetapkan impian pun, ia tidak akan pernah berani. Waktu kecil, semua orang berani bercita-cita besar: ingin jadi dokter, insinyur, pre­siden, dan lain sebagai­nya. Sa­yangnya, sema­kin kita dewasa, kita semakin takut untuk membuat cita-cita yang besar.

Maka, mulailah untuk tidak takut gagal, beranikan membuat impian yang besar, berani menyusun rencana spesifik, dan berani untuk bertindak. Semua itu, perlu membiasakan hal-hal baru yang menunjang tercapainya impian. Di sinilah sikap kedisiplinan kita akan teruji.

Sikap disiplin tercermin dari konsistensi kita dalam menjalankan kerja sesuai rencana yang telah kita susun. Berikut beberapa langkah yang biasa saya lakukan untuk memupuk sikap disiplin diri:

Pertama; saya mengabaikan suara-suara dalam diri yang mengajak saya untuk menunda sebagian pekerjaan dengan alasan sedang lelah atau lemah. Menurut saya, sikap ini perlu dilakukan agar kita menjadi sosok yang antusias dan sabar. Sakit, biasanya sering menjadi alasan klasik ditundanya suatu pekerjaan. Bahkan, tidak jarang, orang yang mengada-ada untuk sakit, merasa senang karena dapat bebas dari kerja.

Saat saya sakit, saya coba tidak disibukkan dengan keluh-kesah, sebisa mungkin menghindari beban pekerjaan. Saya benar-benar fokus untuk bisa sembuh. Beberapa pekerjaan saya delegasikan kepada staf. Banyak kisah nyata yang menggambarkan bagaimana harapan yang kuat mampu menjadi daya dorong dahsyat bagi kesembuhan dari sebuah penyakit. Setelah kembali pulih, saya kembali fokus bekerja.

Ketika dalam kondisi tegang karena terlalu lelah bekerja, saya terbiasa untuk menenangkannya dengan duduk rileks. Saya pejamkan mata beberapa detik sambil menghirup napas dalam-dalam dengan tenang. Dan ketika mengembuskan napas, maka saya membiarkan kedua pundak saya turun perlahan. Hal itu saya ulangi beberapa kali. Hasilnya, ketegangan itu pun perlahan-lahan hilang. Relaksasi ini membuat saraf-saraf terasa tenang. Setelah itu, saya segera kembali melanjutkan pekerjaan. Dengan terapi sederhana ini, tugas-tugas kantor maupun aktivitas lainnya dapat saya kerjakan dengan rileks, tanpa merasa terbebani.

Kedua; pada saat tiba di tempat kerja, saya selalu membiasakan diri menetapkan pekerjaan-pekerjaan yang wajib saya kerjakan secara spesifik. Ketika memulai pekerjaan, saya fokus pada tujuan untuk menyelesaikan pekerjaan sesempurna mungkin, sampai batas kemampuan terbaik yang saya miliki. Saya selalu menghindari untuk mengerjakan tugas “asal beres”, hanya mengerjakan sebagiannya saja.

Selain itu, saya juga berupaya menetapkan target penyelesaian pekerjaan tersebut. Untuk menjaga komitmen itu, saya biasanya menulis akad kesepakatan dengan diri sendiri untuk menjalankan kegiatan harian. Akad yang saya tetapkan itu selalu saya ibaratkan sebagai garis finish. Pada saat mengejar target akad itu, saya membayangkan tengah berlari di lintas perlombaan untuk secepatnya mencapai garis finish. Ketika tidak mampu sampai ke titik finish itu, saya bukan saja merasa kalah, tapi bahkan merasa tidak ikut terlibat dalam perlombaan itu.
Dengan kata lain, merasa kalah sebelum bertanding.

Ketiga; saya berupaya membagi-bagi tugas besar yang tidak dapat ditunaikan dalam satu hari menjadi kepingan-kepingan kerja yang dapat dikerjakan dalam beberapa hari. Setiap kali suatu pekerjaan kecil telah dapat saya tunaikan, maka saya merasakan telah menapaki satu tahap kemajuan. Dan yang terpenting, saya memulai pekerjaan itu dan terus berjalan sambil mengalahkan segala rintangan, hingga tugas itu benar-benar dapat saya selesaikan tepat pada pada waktunya. Saya selalu berpegang pada prinsip, bahwa ribuan langkah bermula dari satu langkah pertama, kedua, dan seterusnya.

Keempat; saya berupaya menetapkan batas akhir kerja secara realistis. Dengan cara itu, saya yakin, akan dapat memetik hasil yang baik, sesuai kadar maskimal kemampuan diri. Dengan batas akhir yang realistis, maka saya dapat mengerjakan setiap tugas secara matang, tanpa harus tergesa-gesa. Tergesa-gesa dalam bekerja justru membuahkan kegagalan.

Artinya, kita tidak perlu memaksakan diri harus menyelesaikan tugas dalam waktu yang di luar batas kemampuan kita. Dalam hal ini, kemampuan membuat jadwal harian menjadi hal yang penting untuk mengontrol progress setiap pekerjaan.

Kelima; saya biasanya memberikan satu bonus tertentu untuk diri saya sendiri atas prestasi menyelesaikan sebuah pekerjaan. Meski dalam bentuk yang sederhana, reward tersebut terasa berharga nilainya ketika sebuah pekerjaan dapat saya selesaikan dengan jerih payah sendiri. Reward dapat memacu kita untuk terus meningkatkan kualitas kerja.

Dari semua pengalaman itu, saya dapat mengambil pelajaran, bahwa sikap disiplin memerlukan latihan terus-menerus. Dengan sikap disiplin, keberhasilan pun akan sema­kin mudah kita raih. ***

Memaksimalkan Potensi Diri

“Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu,” begitulah kata Arai, dalam film Sang Pemimpi.(sekuel dari film Laskar Pelangi besutan sutradara muda Riri Reza)

Semuanya memang berawal dari mimpi. Kesuk­sesan-kesuksesan spektakuler dan capaian-­capaian prestasi yang menakjubkan di panggung besar kehidupan ini, banyak yang ‘hanya’ berawal dari secercah impian.Namun, yang penting dipahami, berbekal impian saja tidak cukup. Impian harus ditindaklanjuti dengan antusiasme dan kerja keras dalam mewujudkannya. Dalam mengejar impian, banyak tantangan yang akan menghadang, banyak onak duri yang akan merintangi, yang semua itu, mustahil terlewati tanpa antusiasme dan kerja keras.

Dr. Harvey Gushing pernah mengatakan, tidak ada hal besar atau baru yang bisa dibuat tanpa antusiasme. Antusias­me adalah roda gila yang menggerakkan gergaji menembus bagi­an yang paling keras dari batang kayu. “Tampaknya se­mua kebesaran memerlukan elemen yang berlebih,” tandas Dr. Harvey.

Pengarang dan kartunis asal Inggris, Ashleigh Brilliant, pernah berkata, “Ide yang bagus sudah umum, yang tidak umum adalah mereka yang bekerja keras untuk mewujudkan ide tersebut.”
Artinya, ternyata untuk meraih impian, diperlukan antusiasme alias semangat besar untuk mewujudkannya. Antusiasme harus diimbangi kerja keras. Bila itu terjadi, antusiasme dan kerja keras itulah yang akan menjadi elemen penentu terwujudnya impian. Tanpa antusiasme dan kerja keras, impian hanya akan menjelma menjadi sekadar impian belaka, yang tak akan pernah terwujud dalam dunia nyata.

Di dalam bekerja menggapai impian, di sana ada kedisiplinan, kepiawaian mengatur waktu, spirit hidup untuk senantiasa berpikir dan bertindak positif, dan lain-lain.***