Senin, 07 Februari 2011

Menjadikan Pekerjaan Sebagai Hobi

Bila Anda ingin bahagia,
buatlah tujuan yang bisa mengendalikan pikiran,
melepaskan tenaga, serta mengilhami harapan Anda,
(Andrew Carnegie).

Jika ada pertanyaan, kerja yang bagaimana yang bisa membuat kita senang atau enjoy, dan merasa tidak tertekan? Kalau saya boleh menjawabnya, tentu suatu pekerjaan, yang pekerjaan itu merupakan bagian dari hobi kita. Karena jika suatu pekerjaan yang lahir berawal dari suatu kebutuhan dasar hidup manusia atau suatu keterpaksaan, maka itu akan membuahkan kualitas kerja yang rendah pula.

Selama ini terkadang kita tidak menyadari, bahwa ketidaknyamanan terhadap pekerjaan yang kita jalani berawal dari hilangnya rasa menikmati dalam pekerjaan itu. Sehingga yang dihasilkan bukannya sesuatu yang gemilang, namun malah tekanan jiwa atau mungkin stress karena pekerjaan kita.

Oleh karena itu, mulai sekarang, jika Anda termasuk orang yang mempunyai pekerjaan berawal dari keterpaksaan, maka sedini mungkin mulailah mencintai pekerjaan Anda. Buatlah ia sebagai hobi kita, tempat kita menyalurkan kegemaran diri kita sendiri. Dan setelah itu, lihatlah hasil positif yang dicapainya.

Menjadikan pekerjaan sebagai hobi kita, setidaknya mem­bantu menghasilkan kenikmatan di dalam menjalani hidup ini. Karena telah dibuktikan, bahwa menjalankan suatu hobi dapat menambah kenikmatan hidup manusia, dan memberikan pengaruh yang positif, serta menciptakan pengalaman yang baru dan usaha yang mendatangkan hasil. Sedangkan, orang-orang yang tidak menjalankan hobi apa pun, akan merasakan waktu berjalan dengan lambat dan membosankan. Sehingga, membuat mereka terpaksa memikirkan berbagai proble­ma­ti­ka yang membuat bosan bahkan stress.

Dan jika Anda memang mempunyai pekerjaan yang berawal dari hobi, maka konsistenlah, karena hobi, menurut saya, lahir dari minat dan bakat seseorang, sehingga hal itu akan bisa melahirkan kualitas kerja yg bagus. Semua pekerjaan yang dilandasi dengan hobi dengan demikian akan memberikan kenikmatan dan membuat kita merasa berarti dalam hidup ini.
Atas dasar inilah, saya berani menyimpulkan, jika peker­jaan berlandaskan minat atau hobi, akan bisa membawa kepada jalur yang lebih baik. Kesimpulan saya itu tidak lahir dari ruang hampa atau jatuh dari langit. Hal itu berawal dari perenungan pribadi tentang pekerjaan dan profesi saya selama ini.

Sebagai seorang yang pernah berprofesi sebagai wartawan dan pengelola di salah satu media instansi pemerintahan, pada awalnya saya merasa rendah jika dibandingkan dengan profesi teman-teman saya yang sudah memiliki jabatan tinggi. Namun, saya berpikir, pekerjaan inilah yang bisa menyalurkan bakat dan hobi saya, dengan menulis beberapa hal yang berkaitan dengan kebijakan negara. Dengan demikian, saya akan mampu menyumbangkan berbagai pemikiran saya demi kebaikan Negara.

Sebenarnya, pengalaman pribadi saya itu telah terbukti di banyak orang yang berusaha menjadikan pekerjaan sebagai hobi. Tak jarang kita lihat seseorang yang bertitel dokter, malahan berkarya di bidang entertainment, hanya karena terbiasa menyanyi sejak kecil. Ada juga mereka yang memiliki latar belakang akademis tinggi (S2 atau S3) malah banting stir jadi pengusaha tahu. Apakah yang sebenarnya terjadi? Tak dapat dipungkiri, bahwa setiap orang mendambakan pekerjaan yang dianggap ideal, baik dari segi jabatan atau pun financial.

Dari situ saya merenung, bahwa saya memiliki hobi dan bakat menulis di bidang kebijakan publik dan reformasi birokrasi, dan mungkin keahlian saya itu sangat diperlukan berbagai kalangan, baik itu pemerintah pusat maupun daerah. Sehingga, jika saya punya skill yang cukup, mengapa tidak berkomitmen dalam pekerjaan itu?

Bekerja atas dasar hobi sangat berkaitan dengan tingkat produktivitas. Banyak orang mengeluh, bosan, capek, malas untuk bekerja. Semua itu terjadi, karena pekerjaan yang mereka tekuni selama ini, belum sesuai dengan hobinya (hatinya). Bila kita termasuk orang yang mudah bosan, maka merasa memiliki hobi dalam suatu pekerjaan sangatlah cocok. Siapa pun tahu, ketika mengerjakan sesuatu yang disukai, maka pekerjaan tersebut tak akan terasa seperti beban berat yang harus dipikul setiap harinya.***

Senantiasa Berfikir Positif

Yang baik bagi orang lain adalah selalu yang betul-betul membahagiakannya.
(Aristoteles)

Kita menyadari, sebagai manusia pasti selalu mengha­dapi masalah. Karena selama ada kehidupan, maka selama itu pulalah ada berbagai problem dan krisis yang menghadang. Namun, kita harus menyadari, bahwa keberhasilan yang dapat kita capai akan dapat diukur oleh sejauh mana kita dapat menga­tasi berbagai persoalan hidup.

Salah satu langkah terbaik yang perlu dilakukan untuk membuat diri kita mampu untuk menikmati hidup, walaupun di sekeliling kita ada beragam tantangan dan masalah adalah dengan berfikir positif. Hal ini penting, untuk menjadikan diri kita mampu bersaing dan mewujudkan berbagai cita-cita.

Berfikir positif adalah sebuah langkah praktis yang harus diikuti dengan memberikan respons terhadap segala sesuatu yang indah yang ada di sekeliling, melalui hal-hal indah yang ada dalam kehidupan. Ingatlah selalu, bahwa sebagai manusia, kita memiliki kewajiban untuk menikmati semua kenikmatan dan keindahan hidup yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita. Mengingat baik atau buruknya kesan hidup kita hari ini tergantung penilaian dan pilihan kita sendiri.

Setidaknya, keinginan saya untuk selalu berfikir positif setiap hari, sedikit banyak terinspirasi oleh untaian kalimat-kalimat bijak yang saya baca dari buku Etos Kerja Islami karya K.H. Toto Tasmara. Untaian kalimat itu mengandung arti, bahwa pikiran adalah sumber yang penting dalam mengubah hidup ini. Rangkaian untaian kalimat bijak itu adalah:

Ubahlah Pikiran Anda
Bila Anda mengubah pikiran Anda
Anda mengubah keyakinan diri Anda
Bila Anda mengubah keyakinan diri Anda
Anda mengubah harapan-harapan Anda
Bila Anda mengubah harapan-harapan Anda
Anda mengubah sikap Anda
Bila Anda mengubah sikap Anda
Anda akan mengubah tingkah laku Anda
Bila Anda mengubah tingkah laku Anda
Anda mengubah kinerja Anda
Bila Anda mengubah kinerja Anda
Anda telah mengubah nasib Anda
Bila Anda mengubah nasib Anda
Anda telah mengubah hidup Anda.

Jadi, pada dasarnya, pikiran memegang peran penting dalam menentukan hidup ini. Oleh karena itu, saya menyadari, bahwa salah satu cara efektif memanfaatkan pikiran kita secara positif adalah dengan selalu berusaha berpikir positif. Setidaknya manfaat berpikir positif dalam menghadapi segala sesuatu yang belum terjadi di dalam hidup ini, saya lakukan, sehingga tidak merasa cemas menghadapi hari esok.

Saya sekarang menyadari, bahwa untuk mengatasi ber­bagai problem dan krisis adalah jangan berusaha untuk memprediksikan secara negatif berbagai persoalan sebelum hal itu benar-benar terjadi.

Bagi saya, di dalam hidup ini haruslah memiliki jiwa ­yang optimis dan merdeka. Tidak ada kreativitas bagi jiwa yang terbelenggu atau jumud, karena pikiran negatif yang belum tentu akan terjadi. Berpikirlah selalu dalam jalur yang positif, bahwa kita akan selalu di dalam kebaikan. Setidaknya, ide untuk selalu berpikir positif itu terinspirasi ketika saya mendapatkan sebuah puisi dari seorang teman yang ditulis dalam bahasa Inggris, yang pengarangnya tidak dikenal. Puisi yang sangat menyentuh jiwa. Puisinya sebagai berikut:

Ya, Aku Bisa!
Bila Anda berpikir Anda kalah, ya Anda kalah
Bila Anda berpikir Anda tidak berani, ya tidak berani
Bila Anda ingin menang, tapi berpikir Anda bakal tidak menang
Hampir dipastikan Anda bakal tidak menang
Bila Anda berpikir Anda akan gagal, sesungguhnya Anda telah gagal
Sebab di dunia telah Kami temukan
Bahwa sukses dimulai dengan keinginan seseorang
Semuanya itu masalah cara berpikir
Bila Anda berpikir Anda disisihkan, Maka Anda akan tersisihkan, Anda harus berpikir tinggi untuk menjulang
Terlebih dahulu Anda harus yakin pada diri sendiri, Sebelum Anda mendapatkan piala
Perjuangan dalam hidup ini tidak selamanya dimenangkan oleh mereka yang kuat dan cepat
Tetapi cepat atau lambat, orang yang menang itu
Adalah mereka yang berpikir dan berkata: Ya aku bisa!

Dengan merenungkan pesan dari setiap baris puisi itu, saya selalu mengajak diri saya untuk tidak memusatkan pikiran pada hal-hal negatif, yang mungkin saya rasakan nanti, karena akan menjadikan permasalahan itu semakin membesar, dan rasa takut yang saya rasakan akan semakin bertambah. Maka, jangan sampai suatu persoalan kita pikirkan secara negatif, sebelum hal itu benar-benar terjadi.

Memanfaatkan Waktu Secara Produktif

Bila Anda ingin bahagia, buatlah tujuan yang bisa mengendalikan pikiran,
melepaskan tenaga, serta mengilhami harapan Anda,

(Andrew Carnegie).

Mengenai pentingnya memanfaatkan waktu, saya terinspirasi kata-kata bijak Benyamin Franklin, “Dost you love life? Then do not squander time, for that is the stuff life is made of.” Apakah Anda mencintai kehidupan? Maka, janganlah memboroskan waktu, sebab waktu merupakan bahan pembentuk kehidupan.

Dari sebuah buku yang pernah saya baca dikatakan bahwa , waktu ibarat sehelai kertas kehidupan yang harus ditulis dengan deretan kalimat kerja dan prestasi. Hidup akan terasa hampa apabila waktu tidak diisi dengan kreasi dan kerja keras. Sungguh merugi bila waktu berlalu begitu saja tanpa mempunyai nilai apa pun. Bila sampai saat ini Anda berumur 35 tahun, seharusnya ada 35 jilid kehidupan yang berjudul nama Anda. Setiap jilid itu terdiri atas 12 bab, 365 halaman, dan setiap halaman terdiri atas 24 baris atau 8.760 kata setiap jilidnya. Apakah baris-baris itu penuh dengan cerita yang “exciting (panas)”, kisah tentang persaingan, kisah perjalanan menuju perpustakaan, diskusi, membaca, dan lain-lain, ataukah hanya deretan kisah tentang tidur, sakit, atau bermalas-malasan. Atau, setiap lembarnya justru kosong tidak berisi tulisan apa pun! Lantas, bagaimana Anda akan berkata pada para pembaca kehidupan Anda bila setiap lembarnya penuh dengan kertas kosong?

Menghargai wak­tu adalah kunci ke­ber­hasilan dalam hi­dup. Sebuah pepatah mengatakan, waktu iba­rat pedang, jika tidak kita gunakan untuk me­motong, waktu itu akan balik memotong kita. Waktu juga adalah uang. Tentu saja, uang bukanlah segala-galanya, tapi tanpa uang, segala-galanya menjadi tidak dapat kita raih. Di atas itu semua, waktu adalah ibadah, pengabdian pada Sang Pencipta. Dan menjadi pribadi yang mampu memberi manfaat bagi diri dan sesama adalah bagian dari ibadah itu sendiri. Agama mengajarkan agar kita tidak menjadi beban bagi orang lain. Dengan kata lain, kita harus mampu mandiri. Kemandirian dapat terbangun melalui sikap menghargai waktu.

Jika kita berada di waktu pagi, maka janganlah menunda pekerjaan hingga waktu sore tiba. Orang-orang bijak sering mengatakan, sungguh merugi orang yang hari ini kondisinya sama dengan hari kemarin, dan hari esok lebih buruk dari hari ini. Setiap berganti hari hendaknya kualitas prestasi pun semakin meningkat.

Jadi, hari dan umur kita adalah saat sekarang ini di mana matahari menaungi kita, bukan kemarin dan bukan besok. Karena itu jadikanlah kehidupan kita pada saat ini sebagai kehidupan. Dengan begitu kehidupan kita tidak akan terpengaruh oleh bisikan kegundahan, kesedihan dan kesusahan masa lalu. la juga tidak akan terpengaruh oleh ramalan masa yang akan datang dengan berbagai hantu dan kemajuan yang mengkhawatirkan itu. Jadi, mantapkan diri kita, fokuskan perhatian kita, gunakan ketekunan kita, manfaatkan kreatifitas dan keuletan kita untuk kehidupan pada hari ini, bukan untuk hari kemarin dan besok.

Untuk hari ini kita harus bisa membagi waktu. Hari ini kita harus bisa menanamkan kebaikan, memberikan yang terbaik dan mempersiapkan diri untuk pergi setiap saat. Jalani kehidupan kita dengan penuh kebahagiaan, kesenangan, ketenangan dan ketentraman. Pada dasarnya, usia adalah perjalanan waktu, kita butuh waktu untuk melangsungkan suatu tugas tertentu, apa pun yang terjadi di alam ini tidak mungkin lepas dari campur tangan waktu. Tak pelak lagi, waktu merupakan salah satu dimensi utama di alam ini. Agaknya, kita semua sepakat, kalau waktu sangatlah penting buat kita. Bahkan banyak yang berkata, bahwa waktu itu adalah uang (time is money).

Saya selalu mengingat sebuah kisah unik untuk me­nyegarkan kembali pentingnya makna waktu dalam hidup ini. Suatu saat, seorang sosiolog ditanya tentang sesuatu yang diperlukan oleh manusia agar ia berhasil dan berprestasi, serta mampu mewujudkan obsesi-obsesinya. Apakah kecerdasan? Apakah kelincahan? Apakah uang yang ia miliki? Sosiolog itu segera memotong pertanyaan ini. Dia berkata, “Saya memo­tong pertanyaan Anda bukan karena tidak ingin memberikan kesempatan kepada Anda untuk berbicara secara sempurna. Namun, saya dapati bahwa saya mesti mempergunakan waktu dengan baik. Sehingga saya mempunyai kesempatan untuk berbicara kepada Anda tentang sesuatu yang paling penting yang sering dilalaikan, meskipun ia amat penting bagi manusia agar ia berhasil. Hal itu adalah ‘waktu yang tepat’. Maksudnya, mempergunakan waktu untuk sesuatu yang tepat bagi waktu tersebut.”

Kisah di atas sangat menginspirasi saya, bahwa pe­ngendalian saya atas waktu merupakan salah satu faktor yang membuat saya selama ini bekerja dengan efektif dan menjadi sosok yang berpengaruh dalam kerja. Saya yakin, bahwa kita semua berkeinginan menunaikan pekerjaan kita dengan teliti, di tempat kerja atau di rumah, dan mengatur waktu-waktu kosong dengan cara yang tepat. Hal ini berarti, bahwa ada kemahiran yang harus dimiliki, yaitu “manajemen waktu yang efektif. Karena waktu tidak dapat dihasilkan kembali, tidak dapat diperpanjang, tidak dapat dihentikan, dan tidak dapat diputar ulang.

Kita menyadari, bahwa waktu selalu berjalan setiap saat, teratur tanpa henti, dan pada dasarnya setiap orang telah diberikan bekal waktu yang sama setiap hari. Kedua hal itulah yang mendorong saya untuk selalu berupaya memilih keberhasilan dan prestasi sebagai jalan, untuk menjadikan waktu bekerja demi kepentingan kita. Hal itu saya lakukan dengan cara mendefinisikan apa yang membuang-buang waktu, dan menggunakan batasan waktu yang tertinggi da­lam bekerja, serta menunaikan pelbagai pekerjaan. Maka, beberapa langkah berikut ini saya lakukan, antara lain:

Pertama; Saya selalu berbicara dengan diri sendiri, dan menelaah banyak kejadian pada hari-hari sebelumnya, serta memperhatikannya. Hal itu berdampak positif, karena sedikit banyak akan dapat menyingkapkan dengan tanpa kesulitan dan kelelahan, beberapa waktu yang hilang dari saya dengan sia-sia.

Kedua; Saya meyakini, bahwa menghilangkan kebiasaan menyia-nyiakan waktu, serta tidak menggunakannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat, adalah perkara yang penting. Hal itu karena dua sebab: Saya akan dapat menuntaskan pekerjaan yang lebih besar. Dan ketika menuntaskan pekerjaan yang lebih banyak, maka saya akan menjadi lebih percaya diri dan lebih mampu untuk bekerja.

Di dalam ajaran agama Islam yang saya yakini, juga telah terkandung anjuran untuk memanfaatkan waktu secara optimal. Islam mengajarkan saya untuk memanfaatkan waktu dengan iman dan amal-amal prestatif, serta membangun nilai kemanusiaan di atas kebenaran dan kesabaran; sehingga seluruh manusia tidak akan berada dalam kerugian. Lihatlah bagaimana waktu pelaksanaan ibadah shalat diatur sedemikian rupa, mengiringi warna alam yang setiap waktu selalu berubah. Siapa saja yang melewatkan waktu-waktu yang telah ditetapkan itu, maka ia akan kehilangan kesempatan meraih kekuatan di baliknya.

Waktu yang tersedia memang harus digunakan untuk amalan produktif atau bekerja. Menurut Quraish Shihab, kata kerja ‘ashara’ pada mulanya berarti “menekan sesuatu, sehingga apa yang terdapat pada bagian terdalam darinya tampak ke permukaan ke luar.” Dengan kata lain, kata tersebut dapat pula diartikan dengan ‘memeras’.

Dengan pemahaman ini, setiap pribadi muslim diingatkan agar pada setiap sore hari seluruh pekerjaan telah selesai. Segala tugas tidak ada lagi yang tertunda (no pending or delay job) karena ‘ashr berarti memeras sesuatu, sehingga tidak ada lagi air yang menetes. Semua pekerjaan telah tuntas, untuk kemudian diikuti dengan tugas lainnya yaitu beribadah. Spektrum warna pada saat ashr adalah oranye yang memiliki rahasia kreativitas, oleh karena itulah orang yang tak jua menghentikan aktivitasnya bekerja saat waktu ashr ini tiba, maka daya krativitasnya akan hilang. Sebagaimana firman-Nya, “Maka apabila engkau telah selesai dari suatu pekerjaan, maka kerjakanlah urusan yang lain dengan sungguh-sungguh” (al-lnsyirah [94]: 7).

Menurut saya, ajaran Islam yang menghendaki untuk memanfaatkan waktu itu merupakan ajaran universal yang bisa diterima oleh semua golongan, kapan pun dan di mana pun. Seperti saya lihat pada salah satu ciri orang modern yang sangat menyikapi waktu dengan sangat bersungguh-sunguh.

Oleh karena itu, jika ingin diakui sebagai manusia modern, maka saya mau tidak mau harus menggunakan jam tangan yang melingkari lengan ini, bukan sekadar gengsi, melainkan benar-benar menunjukkan fungsi. Bahkan, saya bertekad, bahwa jika ingin dianggap orang modern, maka saya harus rela dibentuk oleh sang waktu. Tidak heran jika hari-hari saya, sejak dari mulai bangun tidur di pagi hari sampai kembali ke tempat tidur di malam hari, telah diusahakan untuk mampu menata waktu dengan kegiatan produktif. Dengan demikian ada semacam alarm system dalam diri saya, kapan harus bangun, kapan harus berangkat kerja, kapan ha­rus begini, dan kapan harus begitu. Dari kebiasaan itu semua, setidaknya saya teringat perkataan dari Peter Burn tentang waktu, bahwa di dalam hidup ini kita harus mampu menata dan mengendalikan waktu dengan kegiatan yang produktif,demi kesuksesan pribadi.

Dari pengalaman pribadi saya mengenai hakikat waktu yang sangat berarti dalam hidup itu, bisa dibilang hidup ini bagaikan kecanduan waktu. Saya menjadi tidak mau ada waktu yang hilang dan terbuang tanpa makna. Jiwa ini seakan merintih bila ada satu detik berlalu makna. Bagi saya, waktu adalah rahmat yang tidak terhitung.

Kesadaran terhadap makna waktu merupakan rasa tanggung jawab yang sangat besar atas kemuliaan hidup. Sebagai konsekuensinya, saya selalu berusaha menjadikan waktu sebagai wadah produktivitas. Ada semacam bisikan dalam jiwa ini agar jangan melewatkan barang sedetik pun kehidupan ini tanpa memberi arti.***

Disiplin Sebagai Kunci Keberhasilan

Kesakitan membuat Anda berpikir. Pikiran membuat Anda bijaksana.
Kebijaksanaan membuat kita bisa bertahan dalam hidup.
(John Pattrick).

Sebuah kalimat bijak menyatakan, “Pada awalnya kitalah yang membentuk kebiasaan, kemudian kebiasaanlah yang membentuk kita.” Dari kalimat bijak itu, kita bisa memperoleh pemahaman, bahwa baik-buruk hidup seseorang tergantung pada kebiasaan yang dibentuknya sendiri. Bila kebiasaan buruk yang dibiasakannya, maka pola hidup yang buruk pulalah yang menjadi kapasitas dalam kehidupannya. Begitu pun sebaliknya.

Termasuk dalam hal kedisiplinan. Hidup disiplin atau tidak disiplin adalah pilihan. Keduanya sama-sama mudah, karena memang tumbuh dari kebiasaan. Disiplin akan terasa sulit bila tidak dibiasakan. Namun sangat mudah bila dibiasakan.

Kebiasaan bangun pagi, misalnya, bagi sebagian orang mungkin terasa ringan. Namun, tidak sedikit pula yang merasakan berat luar biasa. Sikap disiplin hendaknya dimulai dari hal-hal yang terlihat sepele. Bisa Anda bayangkan, bila semua orang disiplin waktu dalam bekerja, maka produktivitas tentu akan semakin meningkat. Setiap bangsa besar dan maju, selalu ditopang oleh budaya disiplin dan etos kerja yang tinggi.

Disiplin biasanya terkait dengan aturan. Artinya, orang disiplin sering disebut sebagai orang yang taat aturan. Namun, kedisiplinan diri pada dasarnya lebih kuat dampaknya bagi kesuksesan bila tumbuh dari kesadaran. Sebab, bukankah aturan formal kerja di kantor misalnya, adalah juga kesepakatan yang telah dengan sadar kita setujui saat awal kita kerja? Bila dasar kesadaran yang kita tumbuhkan, maka di mana pun dan kapan pun, nilai-nilai kedisiplinan akan kita pegang dengan teguh.

Saya mengalami dua jenis kerja yang berbeda dalam waktu bersamaan. Satu sisi, saya adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang setiap hari harus masuk kantor dan mengerjakan tugas-tugas yang diemban. Dan pada saat yang sama, saya juga menyempatkan diri untuk mengisi waktu luang dengan kegiatan yang produktif. Saya mencoba mengisi waktu dengan hobi produktif memimpin tim kreatif, menekuni hobi saya dalam menulis, kemudian saya kembangkan dalam sebuah lembaga penerbitan.

Apa yang saya alami, disiplin di kantor dan di dunia penerbitan, pada dasarnya memiliki nilai yang sama, yaitu kesadaran untuk selalu mengerjakan segala tugas secara teratur, tepat waktu, dan terencana. Hukumnya selalu sama; baik di kantor atau di dunia bisnis, bila tidak disiplin, hasilnya selalu buruk. Namun, sedikit berbeda dengan kerja di kantor, pada saat saya menjalankan usaha penerbitan, tidak ada atasan yang bisa mengingatkan saya ketika saya lalai dan malas.

Di sinilah saya berpikir, dalam bisnis yang dikelola sendiri, alat kontrol agar dapat disiplin, tiada lain adalah diri kita sendiri. Impian kitalah yang akan mengawal, agar kita tetap bekerja dengan gigih, tidak melewatkan waktu sedikit pun untuk hal-hal yang sia-sia alias tidak produktif. Setiap kesempatan selalu dinilai sebagai peluang.

Suatu hari, saya pernah lalai untuk mengambil suatu keputusan atas suatu peluang. Rencana yang telah dibuat sebelumnya, saya tinggalkan begitu saja. Beberapa hari kemudian, saya coba berpikir dan merenung, ternyata saya telah menyia-nyiakan kesempatan untuk meningkat. Semakin saya menunda kesempatan, maka semakin menjauhlah peluang emas itu. Semakin dalam saya hanyut dalam zona nyaman (comfort zone), maka semakin menjauh pulalah impian yang hendak saya capai. Dari situ, saya kembali mencoba membangun sikap disiplin.

Hikmah yang bisa dipetik adalah, bahwa dalam usaha kreatif yang kita bangun sendiri, tidak ada bos yang mengendalikan kita. Kitalah yang menjadi kunci utama tercapainya kesuksesan. Sukses yang diraih adalah buah dari sikap disiplin yang kita tunaikan dan kita kontrol sendiri. Dengan sikap disiplin, kita dapat menunaikan kerja dengan cepat, penuh percaya diri, dan efektif. Hal itu akan membuat kita menjadi sosok yang berprestasi, yang mampu mewujudkan obsesi-obsesi dan impian-impian hidup kita.

Seperti yang telah saya sebutkan di awal, bahwa disiplin adalah kebiasaan. Dengan demikian, bukanlah sebuah sikap disiplin bila merasa terpaksa, misalnya karena takut sanksi dari atasan. Disiplin lebih tepat dimaknai sebagai konsistensi melakukan apa yang sudah kita rencanakan. Bahkan, dalam menyusun rencana pun, kita butuh konsistensi. Artinya, setelah satu rencana ditunaikan, maka kita harus segera menyusun rencana berikutnya, berdasar tujuan umum jangka panjang yang telah kita tetapkan sebelumnya.

Dari apa yang saya alami, goal atau impian itu sendiri penting untuk kita visualisasi atau kita gambarkan secara visual. Tujuan harus konkrit, apa yang ingin kita peroleh; mobil, rumah, pergi ibadah haji, atau lainnya. Gambar-gambar impian inilah yang akan membuat kita tetap fokus dan konsisten dalam bekerja dengan penuh disiplin. Impianlah yang mengendalikan kita meraih sukses, bukan atasan.

Dalam melakukan kebiasaan-kebiasaan baru, butuh kesabaran untuk bersikap disiplin. Di awal, tentu akan terasa berat. Namun, semakin sering kita melakukan kebiasaan baru itu, maka pekerjaan akan terasa semakin ringan. Teorinya sederhana saja. Bukankah sejak kecil kita sudah terbiasa menjalani hal-hal yang baru dan kita terus mencobanya tanpa henti? Dari mulai bayi ketika disapih. Saat awal disapih, bayi selalu menangis keras hampir berhari-hari karena meninggalkan kebiasaan lamanya menyusu. Tapi, lama kelamaan, sang bayi dapat terbiasa makan tanpa disusui lagi.

Itulah dasar pe­ngalaman yang pernah dilalui semua orang. Dan dengan demikian, melewati fase transisi perpindahan dari kebiasaan lama ke kebiasaan baru menjadi fitrah manusia yang akan dilalui di masa-masa berikutnya. Tinggal persoalannya, apakah kita sebagai orang dewasa punya keinginan kuat untuk mengubah kebiasaan lama ataukah tidak? Seberapa besar sikap disiplin kita dalam melakukan kebiasaan baru sebagaimana dulu kita demikian kuat untuk melakukan hal-hal yang baru saat kita kecil?

Salah satu kebiasaan lama saya adalah suka menunda pekerjaan. Mungkin karena selalu meremehkan masalah atau mencoba lari dari beban hidup sejauh mungkin. Namun, pada akhirnya, saya menyadari, sikap ini tidak menyelesaikan masalah, malahan justru semakin mempersulit keadaan. Beban terasa semakin menumpuk, sementara aktivitas lainnya belum juga bisa tertangani. Keadaan ini membuat diri saya menjadi tidak independen. Saya menjadi tak bebas menjalankan aktivitas lainnya.

Kebiasaan lama lainnya adalah sikap takut menghadapi kegagalan. Sikap ini membuat saya tidak mau mencoba tantangan. Takut gagal membuat saya lebih memilih untuk tidak mau belajar dan tidak melakukan hal-hal yang baru. Padahal, lagi-lagi, hal itu sangat bertentangan dengan kehidupan masa kecil kita yang selalu ingin mencoba sesuatu dan tak pernah takut gagal. Ketika awal belajar naik sepeda misalnya, kita tidak pernah bosan, meski telah jatuh berkali-kali? Setiap kali kita jatuh, banyak hal yang bisa kita pelajari, dan kita pun bisa tumbuh meraih apa yang kita harapkan. Belajar dari kegagalan untuk tidak kembali jatuh di lubang yang sama.

Dari sini, sa­ya semakin menya­dari, bahwa orang yang takut gagal, tidak akan pernah terdorong untuk bertindak, bahkan untuk menetapkan impian pun, ia tidak akan pernah berani. Waktu kecil, semua orang berani bercita-cita besar: ingin jadi dokter, insinyur, pre­siden, dan lain sebagai­nya. Sa­yangnya, sema­kin kita dewasa, kita semakin takut untuk membuat cita-cita yang besar.

Maka, mulailah untuk tidak takut gagal, beranikan membuat impian yang besar, berani menyusun rencana spesifik, dan berani untuk bertindak. Semua itu, perlu membiasakan hal-hal baru yang menunjang tercapainya impian. Di sinilah sikap kedisiplinan kita akan teruji.

Sikap disiplin tercermin dari konsistensi kita dalam menjalankan kerja sesuai rencana yang telah kita susun. Berikut beberapa langkah yang biasa saya lakukan untuk memupuk sikap disiplin diri:

Pertama; saya mengabaikan suara-suara dalam diri yang mengajak saya untuk menunda sebagian pekerjaan dengan alasan sedang lelah atau lemah. Menurut saya, sikap ini perlu dilakukan agar kita menjadi sosok yang antusias dan sabar. Sakit, biasanya sering menjadi alasan klasik ditundanya suatu pekerjaan. Bahkan, tidak jarang, orang yang mengada-ada untuk sakit, merasa senang karena dapat bebas dari kerja.

Saat saya sakit, saya coba tidak disibukkan dengan keluh-kesah, sebisa mungkin menghindari beban pekerjaan. Saya benar-benar fokus untuk bisa sembuh. Beberapa pekerjaan saya delegasikan kepada staf. Banyak kisah nyata yang menggambarkan bagaimana harapan yang kuat mampu menjadi daya dorong dahsyat bagi kesembuhan dari sebuah penyakit. Setelah kembali pulih, saya kembali fokus bekerja.

Ketika dalam kondisi tegang karena terlalu lelah bekerja, saya terbiasa untuk menenangkannya dengan duduk rileks. Saya pejamkan mata beberapa detik sambil menghirup napas dalam-dalam dengan tenang. Dan ketika mengembuskan napas, maka saya membiarkan kedua pundak saya turun perlahan. Hal itu saya ulangi beberapa kali. Hasilnya, ketegangan itu pun perlahan-lahan hilang. Relaksasi ini membuat saraf-saraf terasa tenang. Setelah itu, saya segera kembali melanjutkan pekerjaan. Dengan terapi sederhana ini, tugas-tugas kantor maupun aktivitas lainnya dapat saya kerjakan dengan rileks, tanpa merasa terbebani.

Kedua; pada saat tiba di tempat kerja, saya selalu membiasakan diri menetapkan pekerjaan-pekerjaan yang wajib saya kerjakan secara spesifik. Ketika memulai pekerjaan, saya fokus pada tujuan untuk menyelesaikan pekerjaan sesempurna mungkin, sampai batas kemampuan terbaik yang saya miliki. Saya selalu menghindari untuk mengerjakan tugas “asal beres”, hanya mengerjakan sebagiannya saja.

Selain itu, saya juga berupaya menetapkan target penyelesaian pekerjaan tersebut. Untuk menjaga komitmen itu, saya biasanya menulis akad kesepakatan dengan diri sendiri untuk menjalankan kegiatan harian. Akad yang saya tetapkan itu selalu saya ibaratkan sebagai garis finish. Pada saat mengejar target akad itu, saya membayangkan tengah berlari di lintas perlombaan untuk secepatnya mencapai garis finish. Ketika tidak mampu sampai ke titik finish itu, saya bukan saja merasa kalah, tapi bahkan merasa tidak ikut terlibat dalam perlombaan itu.
Dengan kata lain, merasa kalah sebelum bertanding.

Ketiga; saya berupaya membagi-bagi tugas besar yang tidak dapat ditunaikan dalam satu hari menjadi kepingan-kepingan kerja yang dapat dikerjakan dalam beberapa hari. Setiap kali suatu pekerjaan kecil telah dapat saya tunaikan, maka saya merasakan telah menapaki satu tahap kemajuan. Dan yang terpenting, saya memulai pekerjaan itu dan terus berjalan sambil mengalahkan segala rintangan, hingga tugas itu benar-benar dapat saya selesaikan tepat pada pada waktunya. Saya selalu berpegang pada prinsip, bahwa ribuan langkah bermula dari satu langkah pertama, kedua, dan seterusnya.

Keempat; saya berupaya menetapkan batas akhir kerja secara realistis. Dengan cara itu, saya yakin, akan dapat memetik hasil yang baik, sesuai kadar maskimal kemampuan diri. Dengan batas akhir yang realistis, maka saya dapat mengerjakan setiap tugas secara matang, tanpa harus tergesa-gesa. Tergesa-gesa dalam bekerja justru membuahkan kegagalan.

Artinya, kita tidak perlu memaksakan diri harus menyelesaikan tugas dalam waktu yang di luar batas kemampuan kita. Dalam hal ini, kemampuan membuat jadwal harian menjadi hal yang penting untuk mengontrol progress setiap pekerjaan.

Kelima; saya biasanya memberikan satu bonus tertentu untuk diri saya sendiri atas prestasi menyelesaikan sebuah pekerjaan. Meski dalam bentuk yang sederhana, reward tersebut terasa berharga nilainya ketika sebuah pekerjaan dapat saya selesaikan dengan jerih payah sendiri. Reward dapat memacu kita untuk terus meningkatkan kualitas kerja.

Dari semua pengalaman itu, saya dapat mengambil pelajaran, bahwa sikap disiplin memerlukan latihan terus-menerus. Dengan sikap disiplin, keberhasilan pun akan sema­kin mudah kita raih. ***

Memaksimalkan Potensi Diri

“Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu,” begitulah kata Arai, dalam film Sang Pemimpi.(sekuel dari film Laskar Pelangi besutan sutradara muda Riri Reza)

Semuanya memang berawal dari mimpi. Kesuk­sesan-kesuksesan spektakuler dan capaian-­capaian prestasi yang menakjubkan di panggung besar kehidupan ini, banyak yang ‘hanya’ berawal dari secercah impian.Namun, yang penting dipahami, berbekal impian saja tidak cukup. Impian harus ditindaklanjuti dengan antusiasme dan kerja keras dalam mewujudkannya. Dalam mengejar impian, banyak tantangan yang akan menghadang, banyak onak duri yang akan merintangi, yang semua itu, mustahil terlewati tanpa antusiasme dan kerja keras.

Dr. Harvey Gushing pernah mengatakan, tidak ada hal besar atau baru yang bisa dibuat tanpa antusiasme. Antusias­me adalah roda gila yang menggerakkan gergaji menembus bagi­an yang paling keras dari batang kayu. “Tampaknya se­mua kebesaran memerlukan elemen yang berlebih,” tandas Dr. Harvey.

Pengarang dan kartunis asal Inggris, Ashleigh Brilliant, pernah berkata, “Ide yang bagus sudah umum, yang tidak umum adalah mereka yang bekerja keras untuk mewujudkan ide tersebut.”
Artinya, ternyata untuk meraih impian, diperlukan antusiasme alias semangat besar untuk mewujudkannya. Antusiasme harus diimbangi kerja keras. Bila itu terjadi, antusiasme dan kerja keras itulah yang akan menjadi elemen penentu terwujudnya impian. Tanpa antusiasme dan kerja keras, impian hanya akan menjelma menjadi sekadar impian belaka, yang tak akan pernah terwujud dalam dunia nyata.

Di dalam bekerja menggapai impian, di sana ada kedisiplinan, kepiawaian mengatur waktu, spirit hidup untuk senantiasa berpikir dan bertindak positif, dan lain-lain.***