Sabtu, 07 Mei 2011

Seminar Anything is Possible

Berkarir Di Dunia Penulisan, Kenapa Tidak!

Penulis buku jarang intelektual. Intelektual ialah mereka yang berbicara tentang buku yang ditulis orang lain. (Françoise Sagan)

Terjunnya saya di dunia penulisan, tidaklah terjadi begitu saja. Saya melaluinya dengan perenungan yang mendalam tentang dunia yang berkaitan dengan banyak gagasan ini. Perenungan saya pada awalnya selalu memunculkan perta­nyaan tentang prospek masa depan sebagai penulis, yaitu “Apa betul kita bisa hidup layak dari menulis?” Atau bahkan, kadang-kadang pertanyaan liar sering melesat, “Bisakah saya kaya dari menjual tulisan?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu bermunculan, karena memang profesi menjadi penulis itu belum benar-benar menjanjikan di negeri ini. Sudah terlanjur tercipta kesan di tengah masyarakat, bahwa profesi menjadi penulis belum sepenuhnya mendapatkan tempat yang layak, berbeda dengan profesi populer seperti dokter, bankir, pengusaha, dan sebagainya.

Bila Anda tidak percaya tentang realitas yang ada di tengah masyarakat mengenai belum terbilang menjanjikannya profesi sebagai penulis, mari kita amati perilaku masyarakat ketika mengarahkan anak-anaknya memilih profesi masa depan. Hampir bisa dipastikan, jika sebagian besar memilih untuk tidak menjadikan anaknya menjadi penulis. Jika tidak dokter, biasanya insinyur, guru, pegawai bank, pekerja BUMN, artis, pengacara, dan jenis profesi lainnya yang secara finansial memang menguntungkan.

Sebenarnya, hal seperti di atas, merupakan feno­mena yang sangat memprihatinkan, bagi perkembangan produkti­vitas bangsa ini ke depannya. Mengingat buntut dari rendah­nya “kasta” seorang penulis, menjadikan produktivitas buku-buku dalam negeri tertinggal jauh. Padahal, kualitas sebuah buku mencerminkan kualitas sebuah bangsa. Saya selalu sedih, setiap kali mengunjungi toko buku, yang saya lihat adalah buku-buku terjemahan, mulai dari novel, kumpulan cerpen, psikologi, musik, hingga buku-buku non fiksi seperti ekonomi, teknik hingga kedokteran. Lalu, kemanakah para penulis asli Indonesia? Saya mengakui dan bangga atas kehadiran beberapa penulis sukses Indonesia, namun mereka hanya segelintir dari ratusan juta penduduk negeri ini.

Namun, secara pribadi, saya tidak pernah mem­persoal­­kan tidak populernya profesi penulis di Indonesia, dan saya yang memilih terjun di dunia penulisan, pada awalnya memang ingin membuktikan kesalahan berpikir masyarakat yang mengatakan bahwa menjadi penulis sama halnya dengan memiskinkan diri. Karena faktanya, saya melihat banyak orang yang sukses dari menulis. Bahkan, bukan hanya sukses dalam kepuasan batin (karena bukunya dibaca sekian banyak orang), namun juga sukses secara finansial.

Sebenarnya, tidak populernya profesi sebagai penulis bersumber dari kesalahpahaman masyarakat dalam meman­dang dunia penulisan. Misalnya, mitos yang me­ngatakan, bah­wa menulis itu sulit dan memerlukan bakat yang luar biasa. Ada pula yang menyatakan, bahwa untuk menjadi seorang penulis harus terlebih dahulu mencapai jenjang atau karir tertentu. Bahkan, ada pula yang mengatakan, bahwa pekerjaan me­nulis adalah pe­ker­jaan istimewa yang hanya pantas dikerjakan oleh orang yang super kreatif dan memiliki daya dongkrak ima­jinasi yang tinggi.

Menurut saya, pandangan ini membahayakan. Karena membuat kegiatan menulis menjadi menyeramkan, sehingga jarang sekali ada orang yang berani mencoba. Apalagi siswa-siswa SD hingga SMA yang notebene adalah remaja. Padahal, setiap orang mempunyai potensi untuk menjadi penulis, asalkan suka membaca dan menulis. Dalam tradisi baca tulis, saya mengenal petuah bijak “There are all kinds of writer and all kinds of reader.”

Untuk itulah, saya terjun ke dunia penulisan, mulai dari penulisan artikel di koran, penulisan jurnalistik, sampai buku, salah satunya didorong oleh keinginan untuk membuktikan, bahwa persepsi nenulis adalah pekerjaan yang sulit, itu salah. Menurut saya, dengan posisi saya yang sebagai PNS suatu kementerian negara dan berhasil mempublikasikan penulisan dalam banyak buku, tentu saja bisa membuktikan kekeliruan pandangan tersebut.

Selain itu, keinginan saya untuk terjun dalam dunia penulisan ini, juga banyak terinspirasi oleh kisah-kisah sukses berbagai penulis, baik penulis dari dalam negeri maupun di luar negeri. Saya sering terinspirasi kisah sukses penulis yang bukunya masuk kategori best seller dan dicetak berulang-ulang, sehingga royalti yang diperolehnya pun juga makin berlipat. Sebut saja buku La Tahzan karya karya Dr. ‘Aidh al-Qarni yang menjadi buku terlaris di Timur Te­ngah, buku best seller Toto Chan karya Tetsuko Kuroyanagi, atau novel-novel Dan Brown (The Da Vinci Code, Angel and Demons), dan belum lama ini juga diluncurkan buku The 8th Habit From Effectiveness to Greatness karya Stephen R Covey.

Tentunya juga saya pernah membaca kisah suk­ses penulis dalam negeri semacam Mu­hammad Fauzil Adhim, penulis spesialisasi topik ke­luarga dan per­nikahan. Bebe­rapa buku lain­nya ber­judul Mencapai Per­ni­kahan Barakah (t­elah menembus angka 100.000 ko­pi), Kado Pernikahan untuk Istriku, dan Indahnya Pernikahan Dini. 23 buku-buku karya Fauzil juga menjadi buku laris di pasaran. Bahkan ro­yalti buku Kupinang Engkau dengan Hamdalah (telah ­terjual 100.000 kopi) mencapai antara Rp 15 juta sampai Rp 25 juta per bulan.

Ada juga Pipit Senja. la adalah salah seorang penulis wa­nita senior dan dapat membuktikan bahwa biaya hidup (living cost) bisa diperoleh dari aktivitas menulis. Lebih dari 100 buku novel dan kumpulan cerpen telah ditulisnya. Dari menulis ini, Pipit memperoleh royalti sekitar Rp 30 juta per tiga bulan. Serendah-rendahnya Rp 5 juta sebulan. Belum termasuk pendapatan dari seminar dan pelatihan menulis di berbagai kota, maupun menjadi editor tamu di sejumlah penerbitan. Bahkan, wanita penderita thalassemia (cacat darah bawaan) ini, setiap hari pekerjaannya hanya menulis. Begitu juga saat diundang ke luar kota maupun luar negeri, ia selalu menyempatkan diri untuk menulis.

Jadi menjadi jelas bukan, jika profesi menulis bisa ditekuni oleh siapa saja. Bahkan bekerja sebagai PNS, yang biasanya tidak memiliki waktu banyak untuk menulis, juga mampu menghasilkan sebuah karya tulis. Seperti saya, seorang PNS sebuah kementerian negara yang juga sebagai kepala keluarga, namun tetap produktif dalam menulis buku hingga kini.***

Pengalaman Menjadi Wartawan Plat Merah

”Mulai” adalah kata yang penuh kekuatan. Cara terbaik untuk menyelesaikan sesuatu adalah, “mulai”.Tapi juga mengherankan, pekerjaan apa yang dapat kita selesaikan kalau kita hanya memulainya?
(Clifford Warren)


Sebagai seorang yang mencintai dunia tulis menulis, membuat saya memilih untuk terlibat di dalam profesi jurnalistik selama menjadi PNS, baik di BPKP maupun di MENPAN. Keterlibatan saya di dunia jurnalistik, berawal ketika saya aktif sebagai wartawan plat merah di sebuah majalah milik BPKP tempat saya bekerja.

Walaupun media yang saya pegang termasuk media milik pemerintah, namun saya berupaya sekuat tenaga untuk membuatnya berkualitas dan layak dibaca banyak orang. Karena, selama ini, anggapan orang terhadap media plat merah adalah kualitas yang rendah, miskin peminat, dan operasionalnya selalu berharap pada sub­sidi pemerintah.

Selama aktif di media plat merah, saya sering mendengar pertanyaan bernada mengkritik, “Apakah media yang dike­lu­ar­kan pemerintah itu dibaca orang?” Mendengar itu, saya yang kebetulan adalah salah satu aktivis “media plat merah”, se­la­lu terdiam dan menganggapnya sebagai sebuah masukan ber­harga, agar media plat merah bisa memperhatikan kualitas isi, seperti media lain yang lebih profesional dan bertiras besar.

Adanya anggapan buruk terhadap media pemerintah itu, saya malah memilih merendah, sambil menjawab dalam hati, bahwa media yang kita kelola itu sebenarnya seolah media internal. Jadi, pembacanya memang spesifik orang tertentu saja, sekalipun disebarkan ke sejumlah daerah. Pembacanya dipastikan adalah orang pemerintah atau mereka yang butuh informasi sesuai tema yang dituliskan itu.

Di satu sisi, saya mafhum, bahwa memang di kalangan jurnalis masih berkembang kebanggaan, bahwa setiap tulisan yang ada, memang dibaca dan dibutuhkan oleh orang-orang atau khalayak. Sehingga sang jurnalis yakin, bahwa tulisannya akan dibaca. Padahal, pembaca–termasuk saya sendiri, dan bahkan mungkin Anda—akan memiliki kemampuan dan keinginan seleksi terhadap informasi yang disajikan. Kalau tak butuh, ya tidak diteruskan untuk dibaca.

Anggapan negatif terhadap media yang berplat merah itu, membuat saya juga agak miris, karena hal ini merupakan salah satu indikasi begitu besarnya diskriminasi terhadap pekerja media milik pemerintah. Bahkan, beberapa episode perdebatan di milis pun sempat santer mengkritisi tatkala orang pemerintah atau PNS bekerja sebagai media umum. Padahal, hal ini banyak terdapat di daerah-daerah. Koran-koran daerah yang tidak memiliki jaringan dengan koran-koran nasional, banyak yang hidup dan dihidupi oleh orang pemerintah.

Namun, semua itu saya hadapi dengan membuktikan, bahwa media pemerintah juga bisa laku dan dicari masyarakat, karena isinya yang berbobot. Untuk itulah, saya bersama teman-teman, bertekad sekuat tenaga untuk menjaga, agar media yang kami jalankan, bisa hidup tanpa subsidi pemerintah.

Untuk mewujudkan impian saya dalam menaikkan kualitas majalah yang kami kelola, maka saya sering kali pulang telat, tidur larut malam, bahkan sering menginap di kantor untuk urusan menghidupi dan menjaga kualitas isi media. Bagi saya, hal tersebut adalah bentuk kerja keras dan pengorbanan yang harus dibayar dengan hilangnya waktu untuk keluarga dan anak-anak saya. Pengalaman tersebut saya dapatkan ketika diberi amanah mengelola majalah Layanan Publik di Kementerian Negara PAN.

Sering kali, di kala kesibukan memaksa saya untuk tidak pulang, wajah istri dan anak-anak tiba-tiba saja hadir dalam benak. Tapi apa daya, diri ini tak sampai. Saya hanya bisa berharap, semua pengorbanan ini akan memberi pemahaman kepada mereka kelak ketika mereka dewasa, bahwa untuk meraih suatu cita-cita atau impian, haruslah menjadi manusia yang kuat, pemberani, dan mau berkorban. Untuk istri dan anak-anakku kulantunkan puisi indah yang ditulis oleh Jenderal Dauglas McArthur untuk anaknya yang akan lahir, ketika ia tidak bisa pulang ka­rena harus memimpin Perang Dunia II. Bunyi puisi itu adalah:

Tuhanku,
Bentuklah putraku menjadi manusia yang kuat,
agar menjadi pemberani manakala dirinya lemah.
Menghadapi dirinya sendiri manakala dia dalam keadaan takut
Jadikan dia manusia yang bangga dan teguh dalam kekalahan
Jujur dan rendah hati serta berbudi halus ketika dalam kemenangan.
Bentuklah putraku menjadi manusia yang semangatnya tak pernah mati, putra yang selalu mengingat Engkau dan mengenali dirinya.

Tuhanku,
Aku mohon agar putraku jangan dipimpin di jalan yang mudah dan lunak,
tetapi di bawah tekanan dan desakan, kesulitan, dan tantangan.
Didiklah putraku supaya tetap teguh ditimpa badai
dan mampu melimpahkan cinta bagi mereka yang gagal
Bentuklah putraku menjadi manusia yang berhati bening,
yang cita-citanya tinggi, putra yang sanggup memimpin dirinya sendiri
sebelum memimpin orang lain.
Putra yang mampu menjangkau masa depan,
tetapi tidak melupakan masa lalunya ketika dia menggapainya.
Aku juga memohon, jadikan pula putraku seorang yang jenaka
agar dalam kesungguhannya tetap ceria.

Tuhanku,
Berilah juga ia kerendahan hati
Agar selalu ingat kesederhanaan, kearifan, kelembutan, dan kekuatan sejati
sehingga suatu saat, aku, ayahnya, berani berkata, “Hidupku tidaklah sia-sia.”

Kerja keras hingga pulang larut malam, bahkan tidak pulang, saya lakukan. Karena saya menyadari, bahwa kualitas isi dan penyajian adalah penting untuk membangun ceruk pasar pembaca yang baru. Hal itu sudah menjadi keharusan bagi sebuah media massa di tengah kompetisi media yang ketat. Jika tidak, selain akan tergusur oleh media yang sudah kuat, posisi media tersebut akan “terancam” oleh media baru yang terus bermunculan.

Apalagi, saat ini media cetak yang menjual informasi, harus bersaing dengan media elektronik yang memberi infor­masi secara gratis, sehingga mengharuskan media massa cetak mencari berbagai cara untuk dapat survive di tengah per­saingan ketat media saat ini, lewat mana saja dengan mengesampingkan subsidi dari pemerintah sebisanya.

Dengan usaha yang sungguh-sungguh, akhirnya, media yang saya jalankan bisa dikatakan berhasil hidup layak. Selain itu, segmentasi pembacanya sudah meluas di luar pemerintah.

Pada kenyatannya, media massa cetak mempunyai segmen-segmen pembaca sendiri, sesuai dengan isinya. Karena itu, terbitan majalah kami, kami buat menjadi beraneka ragam sesuai dengan sasaran pembacanya. Baik untuk kalangan pemerintah pusat maupun daerah dengan memperhatikan kualitas penyajian. Setidaknya, hal itu membuktikan, bahwa berkarya di media plat merah juga memerlukan profesionalitas demi menjaga kualitas yang disukai masyarakat. ***

Tulisan Sebagai Sarana Perjuangan

Saya adalah salah satu orang yang memiliki ikrar, bahwa menulis adalah sebuah kebiasaan. Selepas kuliah di Universitas Andalas, Sumatera Barat, saya sempat bekerja di berbagai tempat, seperti di Semen Padang, Auditor pada BPKP, dan terakhir di MENPAN sebagai PNS sampai sekarang. Meski bekerja sebagai seorang PNS, namun tidak membuat saya harus meninggalkan kebiasaan menulis itu.

Sebuah prestasi menulis yang pernah saya ukir sewaktu bekerja di PT. Semen Padang adalah sebagai juara pertama lom­ba karya tulis se PT. Semen Padang. Waktu itu saya sempat mengalahkan salah seorang penulis terbaik di PT. Semen Padang.

Akhirnya, dengan bekal selalu mengasah keterampilan menulis artikel tentang suatu isu, suatu hari, sewaktu saya bekerja di Manado sebagai PNS BPKP, saya memberanikan diri mengirimkan artikel ke sebuah koran lokal di sana. Dan tidak disangka, ternyata, artikel saya dimuat di koran tersebut. Pemuatan artikel itu, membuat saya terpacu untuk selalu melatih keterampilan saya tersebut hingga sekarang.

Ketika pertama kali menulis artikel untuk koran lokal di Kota Manado itu, saya sebenarnya hanya menanggapi suatu isu dengan gagasan-gagasan yang saya punya dan saya peroleh dari berbagai sumber. Namun, saat pertama kali tulisan itu dimuat, saya merasa sangat bangga. Namun, berkat tulisan yang dimuat itulah, aktivitas dan energi menulis saya terus bergelora hingga saat ini, dengan beberapa buku yang telah berhasil saya tulis dan terbitkan.

Setelah tulisan pertama itu berhasil dimuat media lokal, saya mulai bersemangat untuk menulis berbagai isu-isu hangat yang terjadi di masyarakat. Dan di luar dugaan, ternyata tulisan-tulisan saya berikutnya bisa pula dimuat di beberapa media lokal setempat. Padahal, untuk bisa menulis artikel mengenai isu utama di masyarakat itu, kita harus bersaing dengan berbagai orang, yang bisa dibilang pakar di bidang isu tersebut. Apalagi, isu-isu yang saya tanggapi melalui artikel itu, disebut-sebut oleh beberapa kalangan penulis, sebagai isu yang “angker”, karena kalau mengirimkan artikel untuk isu semacam itu, harus siap-siap menerima jawaban khasnya, “Maaf... kami kesulitan tempat untuk memuat tulisan Anda yang berjudul bla blabla...

Namun, yang perlu saya garisbawahi di sini, dari pengalaman saya itu, bukan berarti setelah tulisan sebelumnya dimuat, tulisan berikutnya akan melenggang begitu saja di mata redaktur. Bahkan, saking frustrasinya, bagi saya menulis artikel di koran adalah menulis untuk dikembalikan, bukan untuk dimuat. Saya sangat merasakan itu.

Bagi saya, menulis adalah setali dengan aktivitas membaca. Gila baca sejak kecil adalah dasar berharga dalam perkembangan kegiatan kreatif saya dalam menuangkan gagasan ke dalam tulisan. Bahkan, saat mendapatkan gaji atau honor mengajar sebagai dosen di sebuah universitas swasta, saya pergunakan hanya sebagian kecil saja untuk keperluan tidak penting. Justru sebagian besarnya, saya alokasikan untuk membeli buku, yang sekarang telah memenuhi ruangan kerja saya. Setidaknya cinta dan komitmen kepada dunia tulis menulis dan buku, telah menjadikan saya sangat kuat membaca dan menulis berjam-jam.

Saya selalu berupaya dengan sekuat tenaga melatih keterampilan saya di dunia tulis menulis, karena saya percaya, bahwa yang penting adalah kerja keras. Saya sendiri punya pengalaman yang menggambarkan akan pentingnya minat untuk meraih kesuksesan. Ketika kecil, saya pernah menyerah dalam belajar bermain gitar. Saya tetap tidak bisa juga, walau sudah berkali-kali mencoba. Teman-teman lain dengan amat mudah mengenali kunci C dan berbagai macam kunci lainnya di senar gitar, sementara saya sama sekali tidak bisa melihat di mana bedanya. Teman-teman lain dengan sangat mudah memainkan nada dari lagu tertentu hanya setelah mereka mendengarnya satu kali saja. Sementara saya? Blank sama sekali soal itu.

Selain sama sekali tak bisa, karena saya memang tak minat bermain gitar, seumur hidup saya pun memang tak pernah kepikiran untuk menjadi seorang pemain gitar. Ketika memutuskan untuk berhenti belajar bermain gitar, sampai hari ini saya sama sekali tidak menyesal.

Selain minat dan latihan, motivasi adalah hal penting untuk meningkatkan keterampilan menulis. Motivasi bahwa menulis bukanlah aktivitas yang sekadar untuk mencari honor atau popularitas, tapi menulis memiliki misi profetis, yaitu perjuangan untuk menyampaikan realitas (kebenaran).

Selama ini, kita sering menilai, bahwa menulis termasuk kegiatan yang tidak memiliki pengaruh nyata di dalam masyarakat, bahkan dianggap sebagai aktivitas yang pasif. Padahal, sebenarnya, para penulis bisa berbuat banyak dengan tulisan yang merupakan hasil gagasannya itu. Efek sebuah tulisan memiliki kekuatan menggerakkan, juga bisa menghasilkan semangat perjuangan atau kebangkitan, dan membuka cakrawala berpikir yang dinamis bagi orang yang membacanya. Sehingga, bisa dikatakan, bahwa menulis juga bisa dijadikan media perjuangan untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik.

Dalam konteks ini, saya salah seorang yang mengakui efektifitas menulis untuk sarana perjuangan membumikan ide-ide yang kita miliki kepada masyarakat. Kita bisa menuangkan ide-ide yang berkecamuk di alam pikiran kita, kemudian dengan kekuatan pena dan hati yang tulus ikhlas, ditambah dengan keyakinan yang paripurna terhadap apa yang akan kita tulis, maka tulisan kita tersebut akan menjadi permata-permata indah yang siap diambil dan dijadikan harta berharga oleh para pembaca.

Saya sangat tergugah dengan kata bijak yang berbunyi “Karena kata adalah senjata!” Kalimat inilah yang banyak mendorong saya menggeluti dunia penulisan demi memberikan sumbangsih bagi kemajuan bangsa. Selama ini, saya banyak menulis buku, tidak lain berharap, agar buku-buku yang telah saya hasilkan, akan membawa perubahan bangsa ke arah yang lebih baik, terutama dalam sektor pemerintahan daerah di era otonomi ini.

Dengan menulis tentang kebaikan penerapan good governance dan reformasi birokrasi, serta melambungkan prestasi beberapa kepala daerah agar bisa memacu beberapa daerah lainnya, maka saya berharap akan muncul kemajuan Indonesia yang berawal dari kemajuan daerah. Menulis, dengan demikian, tak ubahnya seperti berjuang. Sebuah profesi yang memiliki tujuan mulia seperti para pejuang.

Jika di masa perang fisik dulu, para pahlawan kita menggunakan bambu runcing, senjata otomatis, bom rakitan yang diisi dengan paku, beling dan pupuk, dengan peluru tajam atau sesekali (jika berhasil merampas) dengan meriam canggih, maka saat ini kita menulis sebenarnya juga melanjutkan perjuangan membangun bangsa ini dengan bersenjatakan pena.

Beberapa buku yang saya tulis selama ini, memang selalu memuat visi dan misi pemerintahan daerah, serta berbagai prestasi pembangunan yang mereka capai, sehingga bisa dijadikan inspirasi bagi setiap orang yang membacanya. Untuk itulah, saya selalu mengusahakan menuangkan ide-ide itu dengan kata-kata yang bertenaga sebagai senjata dan hati yang lembut, tulus dan ikhlas sebagai amunisinya, demi kemajuan bangsa di masa depan, dan dapat dipelajari oleh generasi yang akan datang.

Dengan demikian, saya memerlukan kata-kata yang luar biasa yang bisa dijadikan senjatanya. Dan senjata itu bukan senjata biasa, bukan senjata yang sekali ditembakkan langsung rusak, tak bisa dipakai, akan tetapi senjata itu penuh dengan kekuatan yang membuatnya senantiasa tidak capek dalam menembak. Sedangkan hati yang lembut adalah amunisi, peluru yang akan terbang bebas, tanpa beban, dan fokus pada sasaran. Ketika peluru hati itu telah sampai di sasarannya, maka serta merta orang yang punya hati tulus ikhlas pasti akan tertarik, simpatik, dan malah akan mendukung ide-ide kebaikannya.

Sehingga, sebenarnya menulis tidak lain adalah berjuang untuk membawa umat manusia yang saat ini sedang berada dalam kegelapan, menuju jalan kebenaran yang penuh dengan pencerahan. Bagi orang yang tidak tahu, adakalanya berpikir, bahwa menulis itu kurang efektif dalam mengubah masyarakat. Akibatnya, golongan ini lebih menitikberatkan perjuangannya kepada perbuatan saja, kepada lisan saja.

Apabila kita menyusuri para pen­dahulu kita, yang telah berhasil menelurkan ide-idenya dalam ben­tuk tulisan dan dibaca hingga kini, maka kita akan memandang mereka seolah-olah mereka tidak pernah mati. Mereka memang telah tiada, tapi karya-karya mereka sampai sekarang masih tetap ada, dicetak ratusan, bahkan ribuan eksemplar dalam berbagai bahasa umat manusia. “Umur” karya mereka menjadi lebih abadi ketimbang hanya ceramah di hadapan umat. Begitulah pentingnya berjuang dengan menulis.

Oleh karena itu, saya rasa, dengan menulis kita sebenar­nya bisa berjuang lewat pembumian ide-ide dalam bentuk kata-kata, tidak ada salahnya lewat tulisan singkat ini, marilah kita berjuang lewat tulisan! Berjuang mengubah masyarakat lewat hati, kepala, jemari, kata-kata (senjata kita) dan tinta-tinta kita!

Karena kata adalah senjata, maka marilah kita panggul senjata itu dan tembakkan kepada sasaran dengan jitu. Ya, karena kata adalah benar-benar senjata untuk melumpuhkan segala kemunduran, maka marilah kita borong senjata-senjata itu untuk memenangkan pertarungan sengit antara kemajuan dan kemunduran. Karena kata adalah senjata, maka bagi siapa saja yang nuraninya masih menyala, akalnya masih sehat, kemampuannya masih ada, marilah kita berjuang.***

Senang Menulis dan berjuang Lewat Tulisan

Menulis adalah mencipta, dalam suatu penciptaan seseorang mengarahkan tidak hanya semua pengetahuan, daya, dan kemampuannya saja, tetapi ia sertakan seluruh jiwa dan nafas hidupnya.
[Stephen King]

Saya termasuk orang yang senang mengumpulkan ungkapan-ungkapan bijak dan orang-orang sukses di bidang­nya. Salah satunya adalah ungkapan seorang penulis buku best seller bernama Andrias Harefa. Mengenai kemauan atau bakat di bidang tulis-menulis, ia pernah berkata, “Yang mungkin diperlukan bukanlah suatu ‘bakat’ istimewa, tetapi lebih pada keinginan dan minat yang besar untuk mau belajar, membangun kebiasaan menuangkan gagasan lewat tulisan.”

Apa yang diungkapkan Andrias Herefa, setidaknya sesuai dengan apa yang saya lakukan dengan selalu mengasah hobi saya menuliskan gagasan-gagasan. Dan sungguh, saya tidak pernah membayangkan sebelumnya, bahwa di kemudian hari saya bisa menulis beberapa buku seperti sekarang ini. Padahal, saya tidak pernah mendalami ilmu tulis-menulis pada awalnya. Dengan latar belakang kuliah saya di jurusan Akuntansi di sebuah Universitas Negeri, orang pasti menganggap, saya hanya bakat menghitung debit dan kredit. Namun, tanpa diduga, ternyata saya juga bisa menjadi seorang penulis.

Pada awalnya, mungkin banyak orang bertanya menge­nai ada tidaknya bakat saya di dunia penulisan. Karena me­mang, hampir dalam setiap pembahasan mengenai tulis-menulis, orang selalu bertanya atau berargumentasi, soal perlu tidak­nya bakat menulis. Namun, sebenarnya, perdebatan apakah seseorang perlu ada bakat dulu baru bicara menulis buku, sesungguhnya tidak berguna. Katakanlah Anda memvonis diri Anda tidak berbakat, kemudian orang lain ikut-ikutan dengan cap yang Anda buat tadi, maka menulis buku bagi Anda tentulah hanya akan menjadi mimpi belaka.

Jika Anda sudah lebih dulu memvonis diri Anda tak berbakat menulis, tak mampu menulis, tak ada waktu menulis, tak ada ide untuk ditulis, maka jangan harap Anda bisa mem­buat buku. Soal mampu atau tidak mampu, bakat atau tidak bakat, kadang itu hanya soal konstruksi mental yang keliru. Jika konstruksi mental sudah tidak pas, biasanya Anda akan sulit melihat peluang-peluang yang bisa Anda manfaatkan untuk merealisasikan gagasan-gagasan Anda.

Jadi, pada dasarnya, hal terpenting untuk dibenahi terlebih dahulu adalah keyakinan kita, dan berfikir positif, bahwa menulis buku itu tidak sesulit yang kita duga, atau tidak memerlukan kemampuan-kemampuan yang melebihi rata-rata orang. Pengalaman saya yang tidak pernah mendalami seni penulisan buku, atau mengambil kuliah di jurusan sastra, bisa dijadikan pelajaran bagi kita semua, bahwa semua orang bisa menulis buku, dengan satu dan lain cara.

Contoh latar belakang saya telah membukakan wawasan kita, bahwa dari segala macam profesi, latar belakang sosial, pendidikan, bahkan latar belakang usia pun, tak menghalangi orang untuk menulis buku.

Keberhasilan seseorang menuangkan gagasan-gagasan ke dalam sebuah buku, tidaklah turun dari langit, namun memerlukan pembelajaran dan minat. Walaupun profesi saya sebagai PNS, yang sibuk dengan kebijakan-kebijakan di pemerintahan, namun saya senantiasa meluangkan waktu untuk mengasah kemampuan menulis saya melalui berbagai hal, seperti menulis buku harian, surat cinta, menulis puisi, mem­buat pantun, membuat ringkasan, menulis paper, menulis resensi buku, menyusun rencana bisnis, menulis laporan, membuat presentasi, dan sebagainya. Dengan demikian, saya secara tidak sengaja, telah memupuk bakat menulis, karena ini semua merupakan cikal-bakal kemampuan menulis yang sangat potensial.

Selain itu, kemampuan menulis buku juga ditentukan oleh keahlian atau minat kita pada bidang tertentu. Walaupun kita tak pernah menulis sama sekali, tetapi umumnya masing-masing dari kita adalah orang yang menguasai satu bidang tertentu yang unik, menerjuni profesi tertentu, memiliki hobi yang menarik, memiliki kemampuan-kemampuan khusus yang layak jual, suka mendiskusikan hal-hal tersebut, suka mengajari orang lain untuk melakukannya, dan kita sangat menyukai bidang-bidang tadi. Bila itu terjadi, maka sesungguhnya, pe­luang menulis buku juga sangat besar.

Begitu juga saya, saya bisa dikatakan memahami bidang kepemerintahan dan reformasi birokrasi. Kemudian, saya per­­caya, bahwa ke­ah­lian saya di bidang itu saat ini dibutuhkan berbagai pemerintahan daerah yang sedang giat menerapkan praktik good governance dan reformasi birokrasi. Kemudian, saya meyakini, bahwa hal itu layak untuk ditulis dan dipublikasikan. Maka akhirnya, banyak pihak yang berkepentingan dengan ‘keahlian’ saya itu, untuk menjadi modal besar bagi perwujudan sebuah buku. Sehingga, bisa dikatakan, bahwa berbekal apa yang sudah ada dalam diri sendiri pun, kita sudah siap mengarungi proses penulisan buku yang sangat mengesankan.

Pada awalnya, saya sering mengatakan dalam diri sen­diri, “Saya ingin menjadi penulis, tapi rasanya kok sulit sekali, karena saya merasa tidak punya bakat.” Dan dulu, saya selalu menjawab ucapan seperti ini dengan perkataan, “Bakat itu tidak penting. Yang penting adalah kerja keras dan motivasi yang kuat.” Dan setidaknya, hal itu bisa dibuktikan dengan keberhasilan saya menulis beberapa buku.***

Terjun Di Dunia Penulisan

Imam Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan:
“Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” Itulah sebabnya, dengan menulis kita mendapat banyak ilmu yang bisa disampaikan lagi.

Menulis di sini diartikan sebagai “Kegiatan menuangkan gagasan, ide, pendapat, penga­laman, perasaan, pengetahuan, dalam bentuk tertulis, untuk dikomunikasikan kepada publik atau orang banyak, melalui media massa, dalam hal ini media massa cetak, baik berupa koran, tabloid, maupun majalah.” (Badiatul Muchlisin Asti, dalam bukunya Da’i Bersenjata Pena).

Menulis dalam artian di atas, memiliki banyak manfaat. Di antaranya adalah manfaat eksistensi, ekspresi, dan ekonomi. Dengan menulis di koran atau buku, eksistensi seseorang akan semakin diakui. Tak jarang seorang penulis menjadi pesohor atau populer di mata masyarakat, karena tulisan-tulisannya yang disukai masyarakat.

Menulis juga merupakan sarana ekspresi, yaitu meng­ekspresikan ide atau gagasan ke tengah-tengah ma­syarakat. Seorang penulis tak perlu mengumpulkan massa untuk memperdengarkan idenya kepada masyarakat. Namun, cukup dengan menulis artikel di koran atau majalah, yang itu bisa dikerjakan di rumah saja, ia sudah bisa mempengaruhi banyak orang. Tulisannya yang dimuat di koran atau majalah, dibaca oleh ribuan orang di berbagai tempat dan keadaan. Itulah kekuatan dari sebuah tulisan yang dapat menembus ruang dan waktu.

Yang tak kalah pentingnya, menulis juga memiliki man­­faat secara ekonomi. Banyak penulis yang kaya raya dan mam­pu meraup pundi-pundi uang dari hasil tulisan-tulisannya. Sudah banyak penulis, baik dari dalam maupun luar negeri yang telah membuktikannya. Mereka menjadi jutawan, bahkan milyader, dari aktivitas kepenulisannya.

Sayangnya, menulis yang memiliki banyak manfaat luar biasa itu, tak banyak orang yang tertarik melakukannya. Alasannya, karena menulis semacam itu, dianggap sebagai sesuatu yang sulit dan hanya orang yang berbakatlah yang bisa melakukannya. Benarkah demikian?

Jawabannya adalah “Tidak”. Setidaknya, jawaban itu be­rangkat dari pengalaman saya. Sebagai PNS, dengan latar be­lakang pendidikan akuntansi, rasanya tidak ada yang me­nyangka, bahwa saya bisa menjadi seorang penulis dengan produktivitas yang cukup tinggi, di tengah kesibukan sebagai PNS yang luar biasa. Bagaimana itu bisa terjadi? Tulisan-tulisan berikut ini akan menjawabnya. Mudah-mudahan bermanfaat.***

Kejahatan Dibalas Dengan Kebaikan

Marah itu gampang. Tapi marah kepada siapa, dengan kadar kemarahan yang pas, pada saat dan tujuan yang tepat, serta dengan cara yang benar itu yang sulit.
(Aristoteles)

Saya sejak awal dididik keluarga untuk menjadi orang yang tidak pendendam. “Apa pun kejahatan atau keburukan yang orang lain perbuat kepada kamu, usahakan balas dengan perbuatan baik, walau jangan dilupakan kejahatannya.” Itulah pesan ibu saya kepada anak-anaknya yang selalu saya ingat sampai sekarang.

Pada waktu kecil, saya memang heran de­ngan pesan tersebut. “Masak sih, orang sudah berbuat jahat kepada kita, tapi kita balas de­ngan kebaikan?” tanya saya di dalam hati.

Dengan pesan itu, saya berusaha menguatkan diri un­tuk tidak menjadi penden­dam atas keburukan orang kepada saya. Pernah suatu keatika saya dikecewakan orang, dikhianati, dan ditinggalkan. Tapi, saya berupaya sekuat tenaga untuk tidak membalas dengan keburukan pula. Sesuai pesan ibu, saya harus memaafkan dan selalu berusaha menjaga tali silaturahmi.

Dan ternyata, manfaat pesan ibu saya itu, pada akhirnya memang terbukti, bahwa membalas perlakuan buruk orang lain kepada kita dengan kebaikan, merupakan balasan yang sebenarnya akan membuat malu orang tersebut. Sehingga membuat mereka menyadari perbuatan salahnya.

Kepada mereka yang telah berlaku buruk kepada saya, saya justru menghaturkan beribu-ribu terima kasih. Saya merasa, melalui perlakuan buruknya itu, secara tidak langsung telah memberikan perubahan di dalam hidup saya untuk menjadi lebih baik lagi.

Saya berfikir, mungkin tanpa adanya perlakuan itu, saya tidak bisa melakukan apa-apa hari ini. Saya mungkin tidak bisa memiliki lembaga penerbitan dan melahirkan beberapa buku hasil karya sendiri, serta memiliki relasi dengan tokoh-tokoh besar. Bahkan, saya biasa memberikan hasil karya buku-buku yang pernah saya tulis kepada orang-orang yang pernah mengecewakan saya.

Sungguh, sebagai manusia, saya memang punya den­dam, tetapi dendam saya sederhana sekali, yaitu saya ingin membuktikan, bahwa saya juga bisa jauh lebih baik setelah diperlakukan buruk. Dendam saya bukan untuk balas-membalas, tetapi untuk memberikan pelajaran kepada orang yang telah memberikan keburukan, bahwa mereka keliru dalam berbuat hal itu kepada saya.

Dengan begitu, membalasnya dengan berbuat yang lebih baik dan lebih baik, pada akhirnya akan berdampak positif. Bahkan, manfaat membalas keburukan dengan kebaikan, juga pernah dialami orang-orang ternama, seperti yang saya baca di dalam kisah hidup Renald Khasali.

Siapa yang menyangka, seorang pakar manajemen itu, juga pernah tidak lulus di jenjang Sekolah Dasar? Dalam kisahnya, Renald bercerita, bahwa kejadian itu terjadi saat dia duduk di kelas 5 SD. Hidup keluarganya saat itu memang sangat prihatin. Ayahnya, yang menjadi tumpuan keluarga, mengalami jobless. Sedangkan rumahnya, baru saja dijual. Untuk menetap, ia sekeluarga menumpang di rumah kerabat di Jakarta Pusat. Bahkan, untuk pergi-pulang sekolah, ia dan adik-kakak harus menumpang bus kota.

Pagi buta sekitar pukul 04.00 dini hari, ia sudah harus siap-siap berangkat menumpang kendaraan omprengan dari arah Salemba menuju Blok A. Dari sana, ia berjalan kaki menuju sekolah. Kondisi seperti itu pada dasarnya merupakan cobaan berat bagi seorang anak kecil yang harus mengalami keterkejutan, karena perubahan pola hidup, dari yang serba mudah menjadi serba sulit.

Pada awalnya, ia tidak kesulitan berangkat sekolah, namun setelah terjadi perubahan pola hidup itu, ia harus naik bus setiap hari, berdesak-desakan di antara orang-orang dewasa di dalam bus, yang pengap, dan mengejar bus yang kondekturnya tidak suka menerima anak-anak SD, karena praktis mereka cuma membayar separuh harga. Selain itu, jika bus mogok di daerah Jembatan Semanggi, dia pun harus pindah bus. Celakanya, jarang sekali bus yang mau menampung, karena bus mereka pun sudah penuh.

Keadaan tidak lebih baik pada saat ia sampai di rumah, karena penerangan sudah gelap, praktis ia tidak sempat belajar. Selain listriknya tidak kuat, ia sudah sangat keletihan. Dengan ketidaksanggupan menghadapi perubahan pola hidup yang mendadak seperti itu, tidak heran jika saat menerima raport, ia melihat angka-angkanya “kebakaran” (banyak merahnya). Renald Khasali kecil pun menangis hebat menerima ketidaklulusannya, karena merasa benar-benar bodoh dan merasa telah menambah berat penderitaan ibunya yang setiap hari bersusah payah mencari ongkos untuk sekolahnya.

Betapa sakit hati ia dengan gurunya saat itu. Namun, dengan ketidaklulusannya, Renald Khasali tidak merasa perlu balas dendam dengan melakukan keburukan kepada gurunya. Dia hanya bertekad untuk melakukan “dendam” dengan cara membuktikan, bahwa penilaian gurunya adalah keliru.

Sejak itu, di kelas yang sama tahun berikutnya, dia mulai tidak banyak bicara. Pada awalnya, ia memang termasuk anak bandel dan suka bermain. Namun, setelah tidak diluluskan, ia telah berubah menjadi rajin, sehingga menjadi lebih berprestasi. la merasa dendamnya terbalas ketika guru yang tidak meluluskannya itu datang mengajar di kelasnya dan melihat sendiri perubahan luar biasa pada dirinya.

Renald Khasali baru benar-benar merasa bila “dendamnya” telah terbalaskan sepenuhnya ketika ia diundang reuni di Hotel Grand Mahakam. Dia merasa bangga, karena ia telah menjadi salah satu alumni yang berhasil menjadi tokoh terkemuka di Indonesia karena keilmuannya. Keburukan yang dibalas Kasali kecil dengan kebaikan pada akhirnya berbuah manis.

Dengan mempelajari pengalaman pribadi dan orang lain mengenai manfaat memberikan balasan kepada perlakuan buruk dengan kebaikan, maka saya benar-benar telah mera­sakan perubahan ke arah kehidupan yang lebih sukses.

Mari kita camkan perkataan orang bijak ini, “Sukses bukanlah seberapa tinggi bukit yang Anda raih, melainkan, kalau Anda jatuh ke bawah, seberapa cepat Anda bisa kembali.” Sungguh untaian kalimat yang dahsyat dan luar biasa!

***

Kerja Keras Mewujudkan Impian

Keberhasilan adalah kemampuan untuk melewati dan mengatasi dari satu kegagalan ke kegagalan berikutnya tanpa kehilangan semangat.
(Winston Chuchill)

Saya menyadari, bahwa untuk mewujudkan sesuatu yang telah saya impikan, membutuhkan adanya keseimbangan antara akal dan perasaan dalam memilih, mana yang dapat dilaksanakan dan dapat dicapai. Kesuksesan meraih ambisi bukanlah suatu yang datang secara tiba-tiba, namun telah menjadi sebuah hal yang memiliki dasar, dan membantu seseorang untuk dapat meraihnya.

Menurut saya, untuk bisa sukses meraih ambisi yang kita kehendaki, adalah dengan menyertakan dua factor penting dan menonjol yang harus dimiliki oleh seseorang dalam bekerja, yaitu: akal dan perasaan. Atau sebut saja pemikiran dan insting.

Kesuksesan kita meraih ambisi yang kita inginkan, tergantung dari sejauhmana kita bisa menjaga keseimbangan kedua potensi itu, menjaga sikap yang moderat dalam kedua hal itu, adalah faktor pendukung terciptanya kesuksesan dalam bekerja. Sikap moderat yang benar, artinya seseorang tidak tunduk secara penuh kepada satu sisi, baik itu pikirannya atau instingnya. Juga tidak memaksakan dirinya untuk mengikuti realitas tanpa memperhatikan perasaan dan instingnya.

Sehingga, dari hal itu kita ketahui, bahwa untuk mencapai tujuan dan mewujudkan ambisinya, seseorang harus mem­buat rancangan yang praktis. Rancangan yang secara garis besar berisi berbagai potensi pribadinya, kecenderungan dirinya yang dalam dan benar, juga kondisi kehidupan yang dia hadapi.

Selain itu, ketika kita tengah berusaha untuk meraih apa yang kita inginkan, atau apa yang kita ingin wujudkan kita harus memiliki gambaran yang jelas tentang berbagai manfaat yang kita harap dapat kita raih, tanpa melupakan berbagai kesulitan, rintangan, dan kendala yang mungkin akan menghadang kita.

Dalam pengalaman saya, membuat sebuah rancangan yang praktis secara garis besar sangat menentukan keberhasilan meraih ambisi. Mengingat dalam penyusunan rancangan itu, kita sudah mulai bergerak untuk mewujudkannya secara bertahap dan perlahan-lahan. Yaitu, dengan memperhatikan secara serius berbagai kendala yang dihadapi, dan dijadikan sebagai suatu kesempatan untuk menyimpan metode kerja yang ditempuh dalam otak.

Selalu mempelajari bagaimana cara memperbaiki metode kerjanya dengan menggunakan otak untuk memuaskan perasaan. Hal ini sebagai upaya untuk menyelaraskan antara realitas yang dihadapi dan berbagai ambisi yang diinginkan untuk diwujudkan.

Namun, untuk mewujudkan ambisi, tidak tergantung pe­nuh kepada pemikiran yang terburu-buru, juga kepada perasaan yang dangkal. Sehingga dalam menyusun rancangan, kita harus benar-benar mendalam dan cermat. Karena tercapainya am­bi­si itu bergantung penuh kepada keinginan yang kuat, praktis, konsisten, dan luwes, yang selalu berusaha memadukan antara­ akal dan pikiran. Pada akhirnya, hal itu akan membuat jiwa menjadi tenang, sehingga mampu mewujudkan tujuannya.

Salah satu usaha untuk membuat rancangan yang mendalam, untuk mencapai ambisi kita adalah dengan mengetahui berbagai ciri kepribadian menurut pandangan kita, baik itu berbagai kelebihan maupun kekurangan. Dan selanjutnya, kita pasti akan secara jujur mengetahui segala kekurangan yang dimiliki. Maka, usahakanlah untuk membuangnya, setelah kita mampu menjelaskan kekurangan yang ingin kita buang tersebut. Juga jelas cara apa yang akan kita tempuh untuk melakukannya.

Selain kita mampu membuat catatan tentang berbagai kekurangan yang ingin kita buang dari diri kita tersebut, maka kita juga perlu mencatat berbagai kelebihan yang ingin kita tambahkan bagi diri kita. Sehingga hal itu dapat menjadi karakteristik kepribadian kita. Kemudian catat berbagai ke­ingin­an dan tuntutan yang ingin kita capai bagi diri dan kehidupan kita. Catat hal tersebut dengan serius dan teliti.

Jadi, dengan menjaga keseimbangan antara pikiran dan perasaan, ditambah kemampuan merancang berbagai ciri diri kita, dan beberapa langkah yang akan kita lakukan tadi, maka hal tersebut bisa dijadikan sebagai titik tolak untuk mewujudkan berbagai ambisi.

Kekuatan Impian

Ketika hatimu telah bulat untuk meraih mimpi. Tak ada lagi yang mampu mengalahkanmu. Kekuatanmu yang tersembunyi selama ini akan keluar, mengalir deras.
Lihatlah, orang-orang sukses di sekitarmu. Mereka adalah pribadi-pribadi yang tangguh, pantang menyerah, dan tak pernah dikalahkan dengan kondisi apa pun.
Hidup harus mampu mewujudkan mimpimu karena disitulah yang membedakan orang biasa dengan orang luar biasa. Teruslah mengejar mimpimu, jangan berhenti melangkah.