Kamis, 20 Mei 2010

Busines Proses Re-engenering

Busines Proses Re-engenering (BPR) atau rekayasa ulang proses bisnis sebenarnya adalah sesuatu yang sangat penting dijalankan untuk memajukan kinerja dan produktifitas suatu organisasi, karena dia bersifat radikal untuk melakukan perubahan dengan berbasis pada proses. Proses adalah kata kunci dalam BPR, yaitu sekumpulan dari aktivitas yang meliputi satu jenis input atau lebih dan menciptakan sebuah output yang bernilai bagi pelanggan.

Pengertian BPR yang diungkapkan beberapa pakar antara lain :oleh Peppard & Rowland (1995) : Rekayasa ulang proses bisnis adalah filosofi perbaikan. Tujuannya adalah untuk mencapai perbaikan performansi dengan cara mendesain ulang proses-proses yang selama ini dijalani perusahaan, memaksimalkan nilai tambah yang terkandung didalamnya serta meminimalkan hal-hal yang tidak berkenaan dengan nilai tambah, pendekatan ini dapat diaplikasikan pada tingkat proses individu maupun tingkat organisasi keseluruhan. Gregory H Watson (1995) lebih menekankan pada rekayasa ulang dari sistem bisnis yang didefinisikan pada metoda untuk mengidentifikasi dan implementasi perubahan.

Pada dasarnya definisi BPR adalah Proses pemikiran kembali secara mendasar dan mendesain kembali proses bisnis (pekerjaan) untuk mendapatkan perbaikan dan kemajuan yang signifikan dalam ukuran kinerja, seperti : biaya, kualitas, pelayanan dan kecepatan. Dengan mencakup pandangan mengenai strategi (cara kerja baru), atau kegiatan merencanakan suatu proses pekerjaan dan menjalankan perubahan pada aspek teknologi, SDM dan organisasi

BPR ini bukan hanya diperuntukan bagi meningkatkan kinerja bisnis suatu perusahaan, namun bisa digunakan untuk organisasi apapun yang mengharapkan kemajuan berlipat ganda dengan focus berpikir pada proses bukan pada pekerjaannya dan manusianya, tapi bagaimana proses itu dijalankan sehingga bisa memberikan keuntungan yang berlipat ganda bagi kemajuan organisasi. Dan kajian tentang BPR ini selain penting, juga telah terbukti menghasilkan kemajuan signifikan bagi beberapa organisasi bisnis dalam beberapa dekade belakangan ini. Selain itu, nampaknya BPR sebagai suatu ilmu sudah dikembangkan jauh-jauh hari pada decade tahun 80-an sampai tahun 90-an di Amerika dan juga di beberapa Negara Eropa lainnya.

Penerapan BPR untuk melakukan perubahan mendasar pada suatu organisasi sangat relevan dilaksanakan, karena dalam perspektif global saat ini dunia kita digerakkan oleh 3C yaitu Costumer, Competitions, Change. Bahkan ada istilah yang mengatakan: if you don’t change, you dead. Kalau kamu tidak mau berubah kau akan mati.

Fenomena 3C itu tentu saja akan menstimulus semua pihak baik itu swasta maupun pemerintah di pusat dan daerah untuk melakukan perubahan berarti menyesuaikan dengan konteks jaman. Dan dalam konteks sekarang ini, sebenarnya telah banyak hal yang menunjukkan bahwa telah banyak perusahaan maupun organisasi pemerintah daerah melakukan banyak terobosan, inovasi, kreatifitas. Dan semua itu memerlukan kehadiran proses re-engenering, karena dengan hal itu, maka sebuah terobosan akan bisa menantang perubahan mainset dari costumer dengan meningkatkan nilai competitive-nya dengan penyesuaian organisasi terhadap perubahan lingkungan yang strategik.

Seperti yang sudah dijelaskan tadi, bahwa Proses re-enginering ini merupakan sebuah upaya pengembalian pemikiran, maka akan disertai dengan tindakan menjalankan perubahan pada 3 aspek penting yaitu tekhnologi, sumber daya manusia, dan organisasi. Setidaknya ketiga aspek itulah yang menjadi kunci dari BPR ini.

Pertama, aspek Sumber Daya Manusia. Sumber Daya Manusia (SDM) di dalam suatu organisasi sangatlah penting, oleh karena itu perlu dirumuskan metode yang tepat untuk melakukan perubahan pada hal ini. Dalam konteks ini, kita melihat betapa masih terpuruknya urutan Indonesia dalam kualitas mutu sumberdaya manusia di dunia kerja baik swasta maupun pemerintah. Bekerja masih dianggap sebagai sesuatu yang rutin.

Bahkan di sebagian karyawan, bisa jadi bekerja dianggap sebagai beban dan paksaan terutama bagi orang yang malas. Bisa dikatakan bahwa budaya organisasi atau budaya perusahaan masih belum banyak dijumpai kinerja yang mengarah ke produktifitas.

Oleh karena itu, peningkatan kulaitas SDM sangat penting dilakukan mengingat peran SDM menentukan berjalannya suatu organisasi. Bahkan ada ungkapan yang mengatakan bahwa "the man behind the gun". Hal itu sangat tepat untuk menggarisbawahi peran strategis dari SDM. Oleh karena itu SDM harus diberdayakan, dididik, dilatih secara radikal atau mendasar sesuai dengan kompetensi dan karakternya.

Kedua, pentingnya reengineering pada penerapan teknologi infomrasi (TI). Dalam praktiknya, tanpa adanya IT yang handal dan sesuai konteks perubahan jaman, maka perubahan yang terjadi tidak akan sistematis. Jika ingin mendapatkan rekayasa ulang yang sukses, tentunya BPR perlu didukung peralatan yang memudahkan proses dilacak atau dianalisa. Jadi jika melakukan perubahan total, maka perubahan itu karena peralatan yang mendukungnya. Jadi ini harus didukung dengan IT dan banyak sekali yang kita bisa lacak dari praktek-praktek bisnis.

Ketiga, aspek organisasi. Pada aspek organisasi, reenginering dimulai tentunya dari visi misi yang dibangun bagaimana arahnya kedepan, bagaimana visi dan misi itu membedakan organisasi dengan organisasi lainnya. Kemudian setelah itu ditetapkan kemana organisasi diarahkan, kemudian pada tahap berikutnya adalah menjadikan hal tersebut sesuatu yang strategis. Dan nilai-nilai strategis inlah yang dalam prose BPR akan terus ditonjolkan, seperti tentang apakah yang kita pikirkan yang akan kita kerjakan? atau sesuatu yang akan kita rubah itu bernilai strategis atau tidak untuk mencapai tujuan organisasi.

Kemudian setelah menetapkan suatu yang strategis, maka diperlukan adanya tindakan yang dilaksanakan untuk mencapai visi dan misi tadi. Dan selanjutnya diperlukan adanya penciptaan ukuran kinerja utama untuk dapat mengetahui kemajuan organisasi. Pembuatan ukuran kinerja merupakan sesuatu yang dianaggap penting oleh semua perusahaan-perusahaan yang menggunakan metode bisnis proses re-engenering ini, dan ini perlu dilaadopsi oleh organisasi pemerintahan.

Keberhasilan suatu organisasi dalam melakukan reengineering juga ditentukan oleh Kepemimpinan. kepemimpinan merupakan karakter yang diperlukan dalam suatu organisasi dalam melakukan perubahan. Agar dapat memimpin proses reengineering, maka seorang pemimpin harus menguasai manajemen kepemimpinan (leadership), mengenal secara mendalam visi dan misi organisasinya dan segala hal yang harus dilakukan bawahannya.

Seorang pemimpin harus berperan sebagai seorang manajer yang mampu mengelola pekerjaan melalui pendayagunaan kemampuan potensi bawahannya secara optimal, sehingga dia mau membuka diri untuk menerima gagasan yang kreatif dari bawahan mampu memotivasi dan memberdayakan bawahannya, dan memberikan keteladanan sikap yang mulia, profesional, dan berakhlak terpuji serta menunjukkan sikap moral dan kemampuan memimpin yang menjadi kerangka acuan anak buahnya. Selain itu juga harus berorientasi pada pencapaian kinerja positif, bersikap terbuka, demokratis menerapkan nilai-nilai budaya kerja dan mensosialisasikan kepada bawahannya, memperbaiki sistem prosedur dan cara kerja organisasi untuk dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan.

Mengingat pentingnya peran pemimpin dindalam sebuah organisasi, maka perubahan mau tidak mau harus dimulai dari pucuk pimpinan organisasi dulu, juga dengan segala kebijakannya, dengan segala kekuatan yang dimiliki baru kemudian di ikuti dengan element kapasitas lainnya. Sebelum perubahan berikutnya berproses di dalam suatu organisasi.

Hal yang paling penting juga adalah peran evaluasi. Aspek ini penting, namun selama ini sering dilupakan. Institusi pemerintahan biasanya terlena dengan kesenangan sendiri setelah menghasilkan sebuah peraturan misalnya perMenPAN, atau Kepmen tentang IKMK, tentang standar kinerja pelayanan ataupun namanya tetapi kita tidak mendapatkan akhir yang sukses untuk menyelesaikan proses tersebut secara tuntas, karena tidak diikuti dengan system reset in development melalui evaluasi secara terus menerus, setiap saat manakala lingkungan strategis dari organisasi itu berubah. Jadi, ketika customer, competition, change itu mengalami perubahan yang radikal lalu keputusan menteri, permenpan, perpes dan lain sebagainya itu tidak mengalami perubahan, berarti kita tidak berada pada akhir yang sukses untuk sebuah proses reenginering.

Hambatan Perubahan
Seperti yang dibahas tadi, bahwa era globalisasi saat ini telah berdampak terhadap 3 C, yaitu customer, competition, dan change. Pelanggan menjadi penentu, pesaing makin banyak, dan perubahan menjadi konstan. Tidak banyak orang yang suka akan perubahan mendasar melalui BPR, namun walau begitu perubahan melalui BPR tidak bisa dihindarkan.

Walaupun perubahan mendasar untuk menciptakan kinerja yang lebih baik tidak dapat dihindari, namun banyak masalah yang bisa terjadi ketika perubahan akan dilakukan. Masalah yang paling sering dan menonjol adalah “penolakan atas perubahan itu sendiri”. Istilah yang sangat populer dalam manajemen adalah resistensi perubahan (resistance to change). Penolakan atas perubahan tidak selalu negatif karena justru karena adanya penolakan tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.

Penolakan atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam bentuk yang standar. Penolakan bisa jelas kelihatan (eksplisit) dan segera, misalnya mengajukan protes, mengancam mogok, demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa juga tersirat (implisit), dan lambat laun, misalnya loyalitas pada organisasi berkurang, motivasi kerja menurun, kesalahan kerja meningkat, tingkat absensi meningkat, dan lain sebagainya.

Setidaknya terdapat dua factor utama yang membuat perubahan mendasar itu mengalami hambatan. Untuk keperluan analitis, dapat dikategorikan sumber penolakan atas perubahan, yaitu penolakan yang dilakukan oleh individual dan yang dilakukan oleh kelompok atau organisasional.
(Ade Wiharso)

0 komentar: