Kamis, 20 Mei 2010

Otonomi Daerah Dan Pemekaran Wilayah

Penerapan otonomi daerah selain memberikan wewenang yang lebih luas bagi setiap daerah untuk memaksimalkan potensi mereka masing-masing, juga membuka peluang tersalurkannya aspirasi masyarakat untuk melakukan pemekaran wilayah. Menurut definisi secara umum, pemekaran daerah/ wilayah adalah pemecahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota menjadi lebih dari satu daerah.

Aspirasi masyarakat daerah untuk memekarkan suatu daerah baik propinsi maupun kebupaten kota yang pada masa Orde baru terpendam dan mengalami kesulitan, maka di era reformasi ini keinginan masyarakat tersebut menggelontar di berbagai daerah. Di era otonomi daerah ini, aspirasi untuk melakukan pemekaran wilayah merupakan salah satu tuntutan yang tidak dapat dipungkiri. Berbagai argumentasi yang mendukung adanya pemekaran wilayah antara lain untuk mempercepat pembangunan daerah, mendongkrak peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah dan demi meingkatkan kesejahteraan masyarakat daerah.

Dengan terbukanya apirasi daerah untuk menuntut pemekaran wilayah, maka Kebijakan memekarkan wilayah di Indonesia telah mengalami peningkatan sejak penerapan otonomi daerah ini. Setidaknya di era otonomi daerah inilah, tercatat adanya pelaksanaan kebijakan pemekaran wilayah yang paling spektakuler, yaitu terdapat 8 (delapan) provinsi dan 182 Kabupaten dan kota yang telah berdiri melepaskan dari provinsi dan kabupaten/kota induknya. Dari semua kebijakan pemekaran wilayah itu, di seluruh wilayah Indonesia saat ini telah memiliki 432 kabupaten dan kota, dan untuk provinsi berjumlah 33.

Sampai saat ini pemerintah telah memutuskan penetapan batas wilayah antar daerah sebanyak 17 Provinsi dari 33 provinsi di Indoensia. Sementara itu, pemerintah juga telah menetapkan 52 batas wilayah kabupaten dan kota yang ditetapkan berdasarkan keputusan menteri dalam nergeri.

Kebijakan pemekaran wilyah sebenaranya telah terjadi sejak awal kemerdekaan Indoensia. Namun dinamikanya pada era reformasi ini terlihat sangat kuat seiring pemberlakuan otonomi daerah. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia memiliki 8 provinsi, yaitu: Sumatra, Borneo (Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku, dan Sunda Kecil. Pada masa pergerakan kemerdekaan (1945-1949), Indonesia mengalami perubahan wilayah akibat kembalinya Belanda untuk menguasai Indonesia, dan sejumlah "negara-negara boneka" dibentuk Belanda dalam wilayah negara Indonesia.

Sejak awal kemerdekaan Indonesia, dimulai telah terjadi perkembangan pemekaran wilayah Indonesia pada kurun waktu 1950-1966, yaitu :Tahun 1950, Provinsi Sumatra dipecah menjadi Provinsi Sumatera Utara (termasuk di dalamnya Aceh), Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan. Sementara, Yogyakarta mendapat status provinsi "Daerah Istimewa". Tahun 1956, Provinsi Kalimantan dipecah menjadi provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Tahun 1957, Provinsi Sumatera Tengah dipecah menjadi Provinsi Jambi, Riau, dan Sumatera Barat. Sementara Jakarta mendapat status provinsi "Daerah Khusus Ibukota". Pada tahun yang sama pula, Aceh kembali dibentuk provinsi terpisah dari Provinsi Sumatera Utara (pada tahun 1959 Provinsi Aceh mendapat status provinsi "Daerah Istimewa"). Tahun 1959, Provinsi Sunda Kecil dipecah menjadi Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Pada tahun yang sama, dibentuk provinsi Kalimantan Tengah (dari Kalimantan Selatan). Tahun 1960, Provinsi Sulawesi dipecah menjadi Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Tahun 1963, PBB menyerahkan Irian Barat ke Indonesia. Tahun 1964, dibentuk Provinsi Lampung (pemekaran dari Sumatera Selatan). Pada tahun yang sama, dibentuk pula Provinsi Sulawesi Tengah (pemekaran dari Sulawesi Utara) dan Provinsi Sulawesi Tenggara (pemekaran dari Sulawesi Selatan). Sedangkan pada masa orde baru, isu pemekaran wilayah relatif tenggelam dikarenakan pengaruh sistem sentralisasi yang mengebiri aspirasi pemerintah daerah. Di masa orde baru terjadi sedikit pemekaran yaitu :Tahun 1967 Provinsi Bengkulu dimekarkan dari Provinsi Sumatera Selatan. Tahun 1969 Irian Barat secara resmi menjadi provinsi ke-26 Indonesia.
Kebutuhan untuk melakukan pemekaran wilayah menjadi suatu yang tidak bisa dielakkan. Mengingat rentan kendali pemekaran wilayah yang begitu luas yang mengakibatkan pengendalian pemerintahan terhambat dan proses pembangunan juga tersendat akibat luasnya wilayah, sebenarnya pemekaran wilayah memang dibutuhkan masyarakat. Selain itu, pemekaran wilayah sesungguhnya bertujuan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan membuka isolasi wilayah.

Pada tataran normatif, kebijakan pemekaran daerah ditujukan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahtraan masyarakat. Namun, kepentingan politik seringkali lebih dominan dalam berbagai proses pemekaran daerah yang berlangsung selama ini. Proses pemekaran daerah pun menjadi bisnis politik dan uang. Akibatnya, peluasan daerah pemekaran seringkali diwarnai indikasi terjadinya KKN. Kepentingan substansif, yakni peningkatan pelayanan masyarakat, efissiensi penyelenggaraan pemerintahan, dan dukungan terhadap pembangunan ekonomi mempunyai potensi besar untuk tidak di indahkan. Dalam PP RI No 129 tahun 2000 pasal 2 disebutkan pembentukan daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melalui :a.Pengankatan pelayanan terhadap masyarakat; b.Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi; c.Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah; d.Percepatan pengelolaan potensi daerah; e.Pengankatan kecamatan dan ketertiban; f.Pengankatanhubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Namun seiring berjalannya pelaksanaan pemekaran wilayah di Indoensia terutama sejak era reformasi, memerlukan evaluasi serius. Mengingat ditemukannya beberapa kasus pemekaran wilayah yang hasilnya tidak sesuai dengan tujuannya yaitu mensejahterakan rakyat daerah.

Beberapa persoalan serius antara lain, kebutuhan pemekaran yang kemudian diintervensi atau dikelola oleh elit-elit partai politik di daerah maupun di pusat serta calo-calo kekuasaan dan anggaran dengan melibatkan transaksi-trasaksi uang. Di samping itu, aspirasi pemekaran wilayah yang sejatinya berasal dari rakyat, telah diabil alih oelh kepentingan sesaat elit partai politik. Sehingga tepat bila dikatakan bahwa, sebagian besar daerah otonom baru hasil pemekaran gagal menyejahterakan masyarakat. Adanya transaksi-transaksi dalam proses pemekaran wilayah, menurut pengamat politik, Siti Zahro akan semakin menjauhkan esensi dan kepentingan pemekaran. Pemekaran menjadi semakin jauh dari kebutuhan sebenarnya, yaitu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. (Ade Wiharso)

0 komentar: