Senin, 07 Februari 2011

Disiplin Sebagai Kunci Keberhasilan

Kesakitan membuat Anda berpikir. Pikiran membuat Anda bijaksana.
Kebijaksanaan membuat kita bisa bertahan dalam hidup.
(John Pattrick).

Sebuah kalimat bijak menyatakan, “Pada awalnya kitalah yang membentuk kebiasaan, kemudian kebiasaanlah yang membentuk kita.” Dari kalimat bijak itu, kita bisa memperoleh pemahaman, bahwa baik-buruk hidup seseorang tergantung pada kebiasaan yang dibentuknya sendiri. Bila kebiasaan buruk yang dibiasakannya, maka pola hidup yang buruk pulalah yang menjadi kapasitas dalam kehidupannya. Begitu pun sebaliknya.

Termasuk dalam hal kedisiplinan. Hidup disiplin atau tidak disiplin adalah pilihan. Keduanya sama-sama mudah, karena memang tumbuh dari kebiasaan. Disiplin akan terasa sulit bila tidak dibiasakan. Namun sangat mudah bila dibiasakan.

Kebiasaan bangun pagi, misalnya, bagi sebagian orang mungkin terasa ringan. Namun, tidak sedikit pula yang merasakan berat luar biasa. Sikap disiplin hendaknya dimulai dari hal-hal yang terlihat sepele. Bisa Anda bayangkan, bila semua orang disiplin waktu dalam bekerja, maka produktivitas tentu akan semakin meningkat. Setiap bangsa besar dan maju, selalu ditopang oleh budaya disiplin dan etos kerja yang tinggi.

Disiplin biasanya terkait dengan aturan. Artinya, orang disiplin sering disebut sebagai orang yang taat aturan. Namun, kedisiplinan diri pada dasarnya lebih kuat dampaknya bagi kesuksesan bila tumbuh dari kesadaran. Sebab, bukankah aturan formal kerja di kantor misalnya, adalah juga kesepakatan yang telah dengan sadar kita setujui saat awal kita kerja? Bila dasar kesadaran yang kita tumbuhkan, maka di mana pun dan kapan pun, nilai-nilai kedisiplinan akan kita pegang dengan teguh.

Saya mengalami dua jenis kerja yang berbeda dalam waktu bersamaan. Satu sisi, saya adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang setiap hari harus masuk kantor dan mengerjakan tugas-tugas yang diemban. Dan pada saat yang sama, saya juga menyempatkan diri untuk mengisi waktu luang dengan kegiatan yang produktif. Saya mencoba mengisi waktu dengan hobi produktif memimpin tim kreatif, menekuni hobi saya dalam menulis, kemudian saya kembangkan dalam sebuah lembaga penerbitan.

Apa yang saya alami, disiplin di kantor dan di dunia penerbitan, pada dasarnya memiliki nilai yang sama, yaitu kesadaran untuk selalu mengerjakan segala tugas secara teratur, tepat waktu, dan terencana. Hukumnya selalu sama; baik di kantor atau di dunia bisnis, bila tidak disiplin, hasilnya selalu buruk. Namun, sedikit berbeda dengan kerja di kantor, pada saat saya menjalankan usaha penerbitan, tidak ada atasan yang bisa mengingatkan saya ketika saya lalai dan malas.

Di sinilah saya berpikir, dalam bisnis yang dikelola sendiri, alat kontrol agar dapat disiplin, tiada lain adalah diri kita sendiri. Impian kitalah yang akan mengawal, agar kita tetap bekerja dengan gigih, tidak melewatkan waktu sedikit pun untuk hal-hal yang sia-sia alias tidak produktif. Setiap kesempatan selalu dinilai sebagai peluang.

Suatu hari, saya pernah lalai untuk mengambil suatu keputusan atas suatu peluang. Rencana yang telah dibuat sebelumnya, saya tinggalkan begitu saja. Beberapa hari kemudian, saya coba berpikir dan merenung, ternyata saya telah menyia-nyiakan kesempatan untuk meningkat. Semakin saya menunda kesempatan, maka semakin menjauhlah peluang emas itu. Semakin dalam saya hanyut dalam zona nyaman (comfort zone), maka semakin menjauh pulalah impian yang hendak saya capai. Dari situ, saya kembali mencoba membangun sikap disiplin.

Hikmah yang bisa dipetik adalah, bahwa dalam usaha kreatif yang kita bangun sendiri, tidak ada bos yang mengendalikan kita. Kitalah yang menjadi kunci utama tercapainya kesuksesan. Sukses yang diraih adalah buah dari sikap disiplin yang kita tunaikan dan kita kontrol sendiri. Dengan sikap disiplin, kita dapat menunaikan kerja dengan cepat, penuh percaya diri, dan efektif. Hal itu akan membuat kita menjadi sosok yang berprestasi, yang mampu mewujudkan obsesi-obsesi dan impian-impian hidup kita.

Seperti yang telah saya sebutkan di awal, bahwa disiplin adalah kebiasaan. Dengan demikian, bukanlah sebuah sikap disiplin bila merasa terpaksa, misalnya karena takut sanksi dari atasan. Disiplin lebih tepat dimaknai sebagai konsistensi melakukan apa yang sudah kita rencanakan. Bahkan, dalam menyusun rencana pun, kita butuh konsistensi. Artinya, setelah satu rencana ditunaikan, maka kita harus segera menyusun rencana berikutnya, berdasar tujuan umum jangka panjang yang telah kita tetapkan sebelumnya.

Dari apa yang saya alami, goal atau impian itu sendiri penting untuk kita visualisasi atau kita gambarkan secara visual. Tujuan harus konkrit, apa yang ingin kita peroleh; mobil, rumah, pergi ibadah haji, atau lainnya. Gambar-gambar impian inilah yang akan membuat kita tetap fokus dan konsisten dalam bekerja dengan penuh disiplin. Impianlah yang mengendalikan kita meraih sukses, bukan atasan.

Dalam melakukan kebiasaan-kebiasaan baru, butuh kesabaran untuk bersikap disiplin. Di awal, tentu akan terasa berat. Namun, semakin sering kita melakukan kebiasaan baru itu, maka pekerjaan akan terasa semakin ringan. Teorinya sederhana saja. Bukankah sejak kecil kita sudah terbiasa menjalani hal-hal yang baru dan kita terus mencobanya tanpa henti? Dari mulai bayi ketika disapih. Saat awal disapih, bayi selalu menangis keras hampir berhari-hari karena meninggalkan kebiasaan lamanya menyusu. Tapi, lama kelamaan, sang bayi dapat terbiasa makan tanpa disusui lagi.

Itulah dasar pe­ngalaman yang pernah dilalui semua orang. Dan dengan demikian, melewati fase transisi perpindahan dari kebiasaan lama ke kebiasaan baru menjadi fitrah manusia yang akan dilalui di masa-masa berikutnya. Tinggal persoalannya, apakah kita sebagai orang dewasa punya keinginan kuat untuk mengubah kebiasaan lama ataukah tidak? Seberapa besar sikap disiplin kita dalam melakukan kebiasaan baru sebagaimana dulu kita demikian kuat untuk melakukan hal-hal yang baru saat kita kecil?

Salah satu kebiasaan lama saya adalah suka menunda pekerjaan. Mungkin karena selalu meremehkan masalah atau mencoba lari dari beban hidup sejauh mungkin. Namun, pada akhirnya, saya menyadari, sikap ini tidak menyelesaikan masalah, malahan justru semakin mempersulit keadaan. Beban terasa semakin menumpuk, sementara aktivitas lainnya belum juga bisa tertangani. Keadaan ini membuat diri saya menjadi tidak independen. Saya menjadi tak bebas menjalankan aktivitas lainnya.

Kebiasaan lama lainnya adalah sikap takut menghadapi kegagalan. Sikap ini membuat saya tidak mau mencoba tantangan. Takut gagal membuat saya lebih memilih untuk tidak mau belajar dan tidak melakukan hal-hal yang baru. Padahal, lagi-lagi, hal itu sangat bertentangan dengan kehidupan masa kecil kita yang selalu ingin mencoba sesuatu dan tak pernah takut gagal. Ketika awal belajar naik sepeda misalnya, kita tidak pernah bosan, meski telah jatuh berkali-kali? Setiap kali kita jatuh, banyak hal yang bisa kita pelajari, dan kita pun bisa tumbuh meraih apa yang kita harapkan. Belajar dari kegagalan untuk tidak kembali jatuh di lubang yang sama.

Dari sini, sa­ya semakin menya­dari, bahwa orang yang takut gagal, tidak akan pernah terdorong untuk bertindak, bahkan untuk menetapkan impian pun, ia tidak akan pernah berani. Waktu kecil, semua orang berani bercita-cita besar: ingin jadi dokter, insinyur, pre­siden, dan lain sebagai­nya. Sa­yangnya, sema­kin kita dewasa, kita semakin takut untuk membuat cita-cita yang besar.

Maka, mulailah untuk tidak takut gagal, beranikan membuat impian yang besar, berani menyusun rencana spesifik, dan berani untuk bertindak. Semua itu, perlu membiasakan hal-hal baru yang menunjang tercapainya impian. Di sinilah sikap kedisiplinan kita akan teruji.

Sikap disiplin tercermin dari konsistensi kita dalam menjalankan kerja sesuai rencana yang telah kita susun. Berikut beberapa langkah yang biasa saya lakukan untuk memupuk sikap disiplin diri:

Pertama; saya mengabaikan suara-suara dalam diri yang mengajak saya untuk menunda sebagian pekerjaan dengan alasan sedang lelah atau lemah. Menurut saya, sikap ini perlu dilakukan agar kita menjadi sosok yang antusias dan sabar. Sakit, biasanya sering menjadi alasan klasik ditundanya suatu pekerjaan. Bahkan, tidak jarang, orang yang mengada-ada untuk sakit, merasa senang karena dapat bebas dari kerja.

Saat saya sakit, saya coba tidak disibukkan dengan keluh-kesah, sebisa mungkin menghindari beban pekerjaan. Saya benar-benar fokus untuk bisa sembuh. Beberapa pekerjaan saya delegasikan kepada staf. Banyak kisah nyata yang menggambarkan bagaimana harapan yang kuat mampu menjadi daya dorong dahsyat bagi kesembuhan dari sebuah penyakit. Setelah kembali pulih, saya kembali fokus bekerja.

Ketika dalam kondisi tegang karena terlalu lelah bekerja, saya terbiasa untuk menenangkannya dengan duduk rileks. Saya pejamkan mata beberapa detik sambil menghirup napas dalam-dalam dengan tenang. Dan ketika mengembuskan napas, maka saya membiarkan kedua pundak saya turun perlahan. Hal itu saya ulangi beberapa kali. Hasilnya, ketegangan itu pun perlahan-lahan hilang. Relaksasi ini membuat saraf-saraf terasa tenang. Setelah itu, saya segera kembali melanjutkan pekerjaan. Dengan terapi sederhana ini, tugas-tugas kantor maupun aktivitas lainnya dapat saya kerjakan dengan rileks, tanpa merasa terbebani.

Kedua; pada saat tiba di tempat kerja, saya selalu membiasakan diri menetapkan pekerjaan-pekerjaan yang wajib saya kerjakan secara spesifik. Ketika memulai pekerjaan, saya fokus pada tujuan untuk menyelesaikan pekerjaan sesempurna mungkin, sampai batas kemampuan terbaik yang saya miliki. Saya selalu menghindari untuk mengerjakan tugas “asal beres”, hanya mengerjakan sebagiannya saja.

Selain itu, saya juga berupaya menetapkan target penyelesaian pekerjaan tersebut. Untuk menjaga komitmen itu, saya biasanya menulis akad kesepakatan dengan diri sendiri untuk menjalankan kegiatan harian. Akad yang saya tetapkan itu selalu saya ibaratkan sebagai garis finish. Pada saat mengejar target akad itu, saya membayangkan tengah berlari di lintas perlombaan untuk secepatnya mencapai garis finish. Ketika tidak mampu sampai ke titik finish itu, saya bukan saja merasa kalah, tapi bahkan merasa tidak ikut terlibat dalam perlombaan itu.
Dengan kata lain, merasa kalah sebelum bertanding.

Ketiga; saya berupaya membagi-bagi tugas besar yang tidak dapat ditunaikan dalam satu hari menjadi kepingan-kepingan kerja yang dapat dikerjakan dalam beberapa hari. Setiap kali suatu pekerjaan kecil telah dapat saya tunaikan, maka saya merasakan telah menapaki satu tahap kemajuan. Dan yang terpenting, saya memulai pekerjaan itu dan terus berjalan sambil mengalahkan segala rintangan, hingga tugas itu benar-benar dapat saya selesaikan tepat pada pada waktunya. Saya selalu berpegang pada prinsip, bahwa ribuan langkah bermula dari satu langkah pertama, kedua, dan seterusnya.

Keempat; saya berupaya menetapkan batas akhir kerja secara realistis. Dengan cara itu, saya yakin, akan dapat memetik hasil yang baik, sesuai kadar maskimal kemampuan diri. Dengan batas akhir yang realistis, maka saya dapat mengerjakan setiap tugas secara matang, tanpa harus tergesa-gesa. Tergesa-gesa dalam bekerja justru membuahkan kegagalan.

Artinya, kita tidak perlu memaksakan diri harus menyelesaikan tugas dalam waktu yang di luar batas kemampuan kita. Dalam hal ini, kemampuan membuat jadwal harian menjadi hal yang penting untuk mengontrol progress setiap pekerjaan.

Kelima; saya biasanya memberikan satu bonus tertentu untuk diri saya sendiri atas prestasi menyelesaikan sebuah pekerjaan. Meski dalam bentuk yang sederhana, reward tersebut terasa berharga nilainya ketika sebuah pekerjaan dapat saya selesaikan dengan jerih payah sendiri. Reward dapat memacu kita untuk terus meningkatkan kualitas kerja.

Dari semua pengalaman itu, saya dapat mengambil pelajaran, bahwa sikap disiplin memerlukan latihan terus-menerus. Dengan sikap disiplin, keberhasilan pun akan sema­kin mudah kita raih. ***

0 komentar: