Penulis buku jarang intelektual. Intelektual ialah mereka yang berbicara tentang buku yang ditulis orang lain. (Françoise Sagan)
Terjunnya saya di dunia penulisan, tidaklah terjadi begitu saja. Saya melaluinya dengan perenungan yang mendalam tentang dunia yang berkaitan dengan banyak gagasan ini. Perenungan saya pada awalnya selalu memunculkan pertanyaan tentang prospek masa depan sebagai penulis, yaitu “Apa betul kita bisa hidup layak dari menulis?” Atau bahkan, kadang-kadang pertanyaan liar sering melesat, “Bisakah saya kaya dari menjual tulisan?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu bermunculan, karena memang profesi menjadi penulis itu belum benar-benar menjanjikan di negeri ini. Sudah terlanjur tercipta kesan di tengah masyarakat, bahwa profesi menjadi penulis belum sepenuhnya mendapatkan tempat yang layak, berbeda dengan profesi populer seperti dokter, bankir, pengusaha, dan sebagainya.
Bila Anda tidak percaya tentang realitas yang ada di tengah masyarakat mengenai belum terbilang menjanjikannya profesi sebagai penulis, mari kita amati perilaku masyarakat ketika mengarahkan anak-anaknya memilih profesi masa depan. Hampir bisa dipastikan, jika sebagian besar memilih untuk tidak menjadikan anaknya menjadi penulis. Jika tidak dokter, biasanya insinyur, guru, pegawai bank, pekerja BUMN, artis, pengacara, dan jenis profesi lainnya yang secara finansial memang menguntungkan.
Sebenarnya, hal seperti di atas, merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan, bagi perkembangan produktivitas bangsa ini ke depannya. Mengingat buntut dari rendahnya “kasta” seorang penulis, menjadikan produktivitas buku-buku dalam negeri tertinggal jauh. Padahal, kualitas sebuah buku mencerminkan kualitas sebuah bangsa. Saya selalu sedih, setiap kali mengunjungi toko buku, yang saya lihat adalah buku-buku terjemahan, mulai dari novel, kumpulan cerpen, psikologi, musik, hingga buku-buku non fiksi seperti ekonomi, teknik hingga kedokteran. Lalu, kemanakah para penulis asli Indonesia? Saya mengakui dan bangga atas kehadiran beberapa penulis sukses Indonesia, namun mereka hanya segelintir dari ratusan juta penduduk negeri ini.
Namun, secara pribadi, saya tidak pernah mempersoalkan tidak populernya profesi penulis di Indonesia, dan saya yang memilih terjun di dunia penulisan, pada awalnya memang ingin membuktikan kesalahan berpikir masyarakat yang mengatakan bahwa menjadi penulis sama halnya dengan memiskinkan diri. Karena faktanya, saya melihat banyak orang yang sukses dari menulis. Bahkan, bukan hanya sukses dalam kepuasan batin (karena bukunya dibaca sekian banyak orang), namun juga sukses secara finansial.
Sebenarnya, tidak populernya profesi sebagai penulis bersumber dari kesalahpahaman masyarakat dalam memandang dunia penulisan. Misalnya, mitos yang mengatakan, bahwa menulis itu sulit dan memerlukan bakat yang luar biasa. Ada pula yang menyatakan, bahwa untuk menjadi seorang penulis harus terlebih dahulu mencapai jenjang atau karir tertentu. Bahkan, ada pula yang mengatakan, bahwa pekerjaan menulis adalah pekerjaan istimewa yang hanya pantas dikerjakan oleh orang yang super kreatif dan memiliki daya dongkrak imajinasi yang tinggi.
Menurut saya, pandangan ini membahayakan. Karena membuat kegiatan menulis menjadi menyeramkan, sehingga jarang sekali ada orang yang berani mencoba. Apalagi siswa-siswa SD hingga SMA yang notebene adalah remaja. Padahal, setiap orang mempunyai potensi untuk menjadi penulis, asalkan suka membaca dan menulis. Dalam tradisi baca tulis, saya mengenal petuah bijak “There are all kinds of writer and all kinds of reader.”
Untuk itulah, saya terjun ke dunia penulisan, mulai dari penulisan artikel di koran, penulisan jurnalistik, sampai buku, salah satunya didorong oleh keinginan untuk membuktikan, bahwa persepsi nenulis adalah pekerjaan yang sulit, itu salah. Menurut saya, dengan posisi saya yang sebagai PNS suatu kementerian negara dan berhasil mempublikasikan penulisan dalam banyak buku, tentu saja bisa membuktikan kekeliruan pandangan tersebut.
Selain itu, keinginan saya untuk terjun dalam dunia penulisan ini, juga banyak terinspirasi oleh kisah-kisah sukses berbagai penulis, baik penulis dari dalam negeri maupun di luar negeri. Saya sering terinspirasi kisah sukses penulis yang bukunya masuk kategori best seller dan dicetak berulang-ulang, sehingga royalti yang diperolehnya pun juga makin berlipat. Sebut saja buku La Tahzan karya karya Dr. ‘Aidh al-Qarni yang menjadi buku terlaris di Timur Tengah, buku best seller Toto Chan karya Tetsuko Kuroyanagi, atau novel-novel Dan Brown (The Da Vinci Code, Angel and Demons), dan belum lama ini juga diluncurkan buku The 8th Habit From Effectiveness to Greatness karya Stephen R Covey.
Tentunya juga saya pernah membaca kisah sukses penulis dalam negeri semacam Muhammad Fauzil Adhim, penulis spesialisasi topik keluarga dan pernikahan. Beberapa buku lainnya berjudul Mencapai Pernikahan Barakah (telah menembus angka 100.000 kopi), Kado Pernikahan untuk Istriku, dan Indahnya Pernikahan Dini. 23 buku-buku karya Fauzil juga menjadi buku laris di pasaran. Bahkan royalti buku Kupinang Engkau dengan Hamdalah (telah terjual 100.000 kopi) mencapai antara Rp 15 juta sampai Rp 25 juta per bulan.
Ada juga Pipit Senja. la adalah salah seorang penulis wanita senior dan dapat membuktikan bahwa biaya hidup (living cost) bisa diperoleh dari aktivitas menulis. Lebih dari 100 buku novel dan kumpulan cerpen telah ditulisnya. Dari menulis ini, Pipit memperoleh royalti sekitar Rp 30 juta per tiga bulan. Serendah-rendahnya Rp 5 juta sebulan. Belum termasuk pendapatan dari seminar dan pelatihan menulis di berbagai kota, maupun menjadi editor tamu di sejumlah penerbitan. Bahkan, wanita penderita thalassemia (cacat darah bawaan) ini, setiap hari pekerjaannya hanya menulis. Begitu juga saat diundang ke luar kota maupun luar negeri, ia selalu menyempatkan diri untuk menulis.
Jadi menjadi jelas bukan, jika profesi menulis bisa ditekuni oleh siapa saja. Bahkan bekerja sebagai PNS, yang biasanya tidak memiliki waktu banyak untuk menulis, juga mampu menghasilkan sebuah karya tulis. Seperti saya, seorang PNS sebuah kementerian negara yang juga sebagai kepala keluarga, namun tetap produktif dalam menulis buku hingga kini.***
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu bermunculan, karena memang profesi menjadi penulis itu belum benar-benar menjanjikan di negeri ini. Sudah terlanjur tercipta kesan di tengah masyarakat, bahwa profesi menjadi penulis belum sepenuhnya mendapatkan tempat yang layak, berbeda dengan profesi populer seperti dokter, bankir, pengusaha, dan sebagainya.
Bila Anda tidak percaya tentang realitas yang ada di tengah masyarakat mengenai belum terbilang menjanjikannya profesi sebagai penulis, mari kita amati perilaku masyarakat ketika mengarahkan anak-anaknya memilih profesi masa depan. Hampir bisa dipastikan, jika sebagian besar memilih untuk tidak menjadikan anaknya menjadi penulis. Jika tidak dokter, biasanya insinyur, guru, pegawai bank, pekerja BUMN, artis, pengacara, dan jenis profesi lainnya yang secara finansial memang menguntungkan.
Sebenarnya, hal seperti di atas, merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan, bagi perkembangan produktivitas bangsa ini ke depannya. Mengingat buntut dari rendahnya “kasta” seorang penulis, menjadikan produktivitas buku-buku dalam negeri tertinggal jauh. Padahal, kualitas sebuah buku mencerminkan kualitas sebuah bangsa. Saya selalu sedih, setiap kali mengunjungi toko buku, yang saya lihat adalah buku-buku terjemahan, mulai dari novel, kumpulan cerpen, psikologi, musik, hingga buku-buku non fiksi seperti ekonomi, teknik hingga kedokteran. Lalu, kemanakah para penulis asli Indonesia? Saya mengakui dan bangga atas kehadiran beberapa penulis sukses Indonesia, namun mereka hanya segelintir dari ratusan juta penduduk negeri ini.
Namun, secara pribadi, saya tidak pernah mempersoalkan tidak populernya profesi penulis di Indonesia, dan saya yang memilih terjun di dunia penulisan, pada awalnya memang ingin membuktikan kesalahan berpikir masyarakat yang mengatakan bahwa menjadi penulis sama halnya dengan memiskinkan diri. Karena faktanya, saya melihat banyak orang yang sukses dari menulis. Bahkan, bukan hanya sukses dalam kepuasan batin (karena bukunya dibaca sekian banyak orang), namun juga sukses secara finansial.
Sebenarnya, tidak populernya profesi sebagai penulis bersumber dari kesalahpahaman masyarakat dalam memandang dunia penulisan. Misalnya, mitos yang mengatakan, bahwa menulis itu sulit dan memerlukan bakat yang luar biasa. Ada pula yang menyatakan, bahwa untuk menjadi seorang penulis harus terlebih dahulu mencapai jenjang atau karir tertentu. Bahkan, ada pula yang mengatakan, bahwa pekerjaan menulis adalah pekerjaan istimewa yang hanya pantas dikerjakan oleh orang yang super kreatif dan memiliki daya dongkrak imajinasi yang tinggi.
Menurut saya, pandangan ini membahayakan. Karena membuat kegiatan menulis menjadi menyeramkan, sehingga jarang sekali ada orang yang berani mencoba. Apalagi siswa-siswa SD hingga SMA yang notebene adalah remaja. Padahal, setiap orang mempunyai potensi untuk menjadi penulis, asalkan suka membaca dan menulis. Dalam tradisi baca tulis, saya mengenal petuah bijak “There are all kinds of writer and all kinds of reader.”
Untuk itulah, saya terjun ke dunia penulisan, mulai dari penulisan artikel di koran, penulisan jurnalistik, sampai buku, salah satunya didorong oleh keinginan untuk membuktikan, bahwa persepsi nenulis adalah pekerjaan yang sulit, itu salah. Menurut saya, dengan posisi saya yang sebagai PNS suatu kementerian negara dan berhasil mempublikasikan penulisan dalam banyak buku, tentu saja bisa membuktikan kekeliruan pandangan tersebut.
Selain itu, keinginan saya untuk terjun dalam dunia penulisan ini, juga banyak terinspirasi oleh kisah-kisah sukses berbagai penulis, baik penulis dari dalam negeri maupun di luar negeri. Saya sering terinspirasi kisah sukses penulis yang bukunya masuk kategori best seller dan dicetak berulang-ulang, sehingga royalti yang diperolehnya pun juga makin berlipat. Sebut saja buku La Tahzan karya karya Dr. ‘Aidh al-Qarni yang menjadi buku terlaris di Timur Tengah, buku best seller Toto Chan karya Tetsuko Kuroyanagi, atau novel-novel Dan Brown (The Da Vinci Code, Angel and Demons), dan belum lama ini juga diluncurkan buku The 8th Habit From Effectiveness to Greatness karya Stephen R Covey.
Tentunya juga saya pernah membaca kisah sukses penulis dalam negeri semacam Muhammad Fauzil Adhim, penulis spesialisasi topik keluarga dan pernikahan. Beberapa buku lainnya berjudul Mencapai Pernikahan Barakah (telah menembus angka 100.000 kopi), Kado Pernikahan untuk Istriku, dan Indahnya Pernikahan Dini. 23 buku-buku karya Fauzil juga menjadi buku laris di pasaran. Bahkan royalti buku Kupinang Engkau dengan Hamdalah (telah terjual 100.000 kopi) mencapai antara Rp 15 juta sampai Rp 25 juta per bulan.
Ada juga Pipit Senja. la adalah salah seorang penulis wanita senior dan dapat membuktikan bahwa biaya hidup (living cost) bisa diperoleh dari aktivitas menulis. Lebih dari 100 buku novel dan kumpulan cerpen telah ditulisnya. Dari menulis ini, Pipit memperoleh royalti sekitar Rp 30 juta per tiga bulan. Serendah-rendahnya Rp 5 juta sebulan. Belum termasuk pendapatan dari seminar dan pelatihan menulis di berbagai kota, maupun menjadi editor tamu di sejumlah penerbitan. Bahkan, wanita penderita thalassemia (cacat darah bawaan) ini, setiap hari pekerjaannya hanya menulis. Begitu juga saat diundang ke luar kota maupun luar negeri, ia selalu menyempatkan diri untuk menulis.
Jadi menjadi jelas bukan, jika profesi menulis bisa ditekuni oleh siapa saja. Bahkan bekerja sebagai PNS, yang biasanya tidak memiliki waktu banyak untuk menulis, juga mampu menghasilkan sebuah karya tulis. Seperti saya, seorang PNS sebuah kementerian negara yang juga sebagai kepala keluarga, namun tetap produktif dalam menulis buku hingga kini.***
0 komentar:
Posting Komentar