Sabtu, 07 Mei 2011

Tulisan Sebagai Sarana Perjuangan

Saya adalah salah satu orang yang memiliki ikrar, bahwa menulis adalah sebuah kebiasaan. Selepas kuliah di Universitas Andalas, Sumatera Barat, saya sempat bekerja di berbagai tempat, seperti di Semen Padang, Auditor pada BPKP, dan terakhir di MENPAN sebagai PNS sampai sekarang. Meski bekerja sebagai seorang PNS, namun tidak membuat saya harus meninggalkan kebiasaan menulis itu.

Sebuah prestasi menulis yang pernah saya ukir sewaktu bekerja di PT. Semen Padang adalah sebagai juara pertama lom­ba karya tulis se PT. Semen Padang. Waktu itu saya sempat mengalahkan salah seorang penulis terbaik di PT. Semen Padang.

Akhirnya, dengan bekal selalu mengasah keterampilan menulis artikel tentang suatu isu, suatu hari, sewaktu saya bekerja di Manado sebagai PNS BPKP, saya memberanikan diri mengirimkan artikel ke sebuah koran lokal di sana. Dan tidak disangka, ternyata, artikel saya dimuat di koran tersebut. Pemuatan artikel itu, membuat saya terpacu untuk selalu melatih keterampilan saya tersebut hingga sekarang.

Ketika pertama kali menulis artikel untuk koran lokal di Kota Manado itu, saya sebenarnya hanya menanggapi suatu isu dengan gagasan-gagasan yang saya punya dan saya peroleh dari berbagai sumber. Namun, saat pertama kali tulisan itu dimuat, saya merasa sangat bangga. Namun, berkat tulisan yang dimuat itulah, aktivitas dan energi menulis saya terus bergelora hingga saat ini, dengan beberapa buku yang telah berhasil saya tulis dan terbitkan.

Setelah tulisan pertama itu berhasil dimuat media lokal, saya mulai bersemangat untuk menulis berbagai isu-isu hangat yang terjadi di masyarakat. Dan di luar dugaan, ternyata tulisan-tulisan saya berikutnya bisa pula dimuat di beberapa media lokal setempat. Padahal, untuk bisa menulis artikel mengenai isu utama di masyarakat itu, kita harus bersaing dengan berbagai orang, yang bisa dibilang pakar di bidang isu tersebut. Apalagi, isu-isu yang saya tanggapi melalui artikel itu, disebut-sebut oleh beberapa kalangan penulis, sebagai isu yang “angker”, karena kalau mengirimkan artikel untuk isu semacam itu, harus siap-siap menerima jawaban khasnya, “Maaf... kami kesulitan tempat untuk memuat tulisan Anda yang berjudul bla blabla...

Namun, yang perlu saya garisbawahi di sini, dari pengalaman saya itu, bukan berarti setelah tulisan sebelumnya dimuat, tulisan berikutnya akan melenggang begitu saja di mata redaktur. Bahkan, saking frustrasinya, bagi saya menulis artikel di koran adalah menulis untuk dikembalikan, bukan untuk dimuat. Saya sangat merasakan itu.

Bagi saya, menulis adalah setali dengan aktivitas membaca. Gila baca sejak kecil adalah dasar berharga dalam perkembangan kegiatan kreatif saya dalam menuangkan gagasan ke dalam tulisan. Bahkan, saat mendapatkan gaji atau honor mengajar sebagai dosen di sebuah universitas swasta, saya pergunakan hanya sebagian kecil saja untuk keperluan tidak penting. Justru sebagian besarnya, saya alokasikan untuk membeli buku, yang sekarang telah memenuhi ruangan kerja saya. Setidaknya cinta dan komitmen kepada dunia tulis menulis dan buku, telah menjadikan saya sangat kuat membaca dan menulis berjam-jam.

Saya selalu berupaya dengan sekuat tenaga melatih keterampilan saya di dunia tulis menulis, karena saya percaya, bahwa yang penting adalah kerja keras. Saya sendiri punya pengalaman yang menggambarkan akan pentingnya minat untuk meraih kesuksesan. Ketika kecil, saya pernah menyerah dalam belajar bermain gitar. Saya tetap tidak bisa juga, walau sudah berkali-kali mencoba. Teman-teman lain dengan amat mudah mengenali kunci C dan berbagai macam kunci lainnya di senar gitar, sementara saya sama sekali tidak bisa melihat di mana bedanya. Teman-teman lain dengan sangat mudah memainkan nada dari lagu tertentu hanya setelah mereka mendengarnya satu kali saja. Sementara saya? Blank sama sekali soal itu.

Selain sama sekali tak bisa, karena saya memang tak minat bermain gitar, seumur hidup saya pun memang tak pernah kepikiran untuk menjadi seorang pemain gitar. Ketika memutuskan untuk berhenti belajar bermain gitar, sampai hari ini saya sama sekali tidak menyesal.

Selain minat dan latihan, motivasi adalah hal penting untuk meningkatkan keterampilan menulis. Motivasi bahwa menulis bukanlah aktivitas yang sekadar untuk mencari honor atau popularitas, tapi menulis memiliki misi profetis, yaitu perjuangan untuk menyampaikan realitas (kebenaran).

Selama ini, kita sering menilai, bahwa menulis termasuk kegiatan yang tidak memiliki pengaruh nyata di dalam masyarakat, bahkan dianggap sebagai aktivitas yang pasif. Padahal, sebenarnya, para penulis bisa berbuat banyak dengan tulisan yang merupakan hasil gagasannya itu. Efek sebuah tulisan memiliki kekuatan menggerakkan, juga bisa menghasilkan semangat perjuangan atau kebangkitan, dan membuka cakrawala berpikir yang dinamis bagi orang yang membacanya. Sehingga, bisa dikatakan, bahwa menulis juga bisa dijadikan media perjuangan untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik.

Dalam konteks ini, saya salah seorang yang mengakui efektifitas menulis untuk sarana perjuangan membumikan ide-ide yang kita miliki kepada masyarakat. Kita bisa menuangkan ide-ide yang berkecamuk di alam pikiran kita, kemudian dengan kekuatan pena dan hati yang tulus ikhlas, ditambah dengan keyakinan yang paripurna terhadap apa yang akan kita tulis, maka tulisan kita tersebut akan menjadi permata-permata indah yang siap diambil dan dijadikan harta berharga oleh para pembaca.

Saya sangat tergugah dengan kata bijak yang berbunyi “Karena kata adalah senjata!” Kalimat inilah yang banyak mendorong saya menggeluti dunia penulisan demi memberikan sumbangsih bagi kemajuan bangsa. Selama ini, saya banyak menulis buku, tidak lain berharap, agar buku-buku yang telah saya hasilkan, akan membawa perubahan bangsa ke arah yang lebih baik, terutama dalam sektor pemerintahan daerah di era otonomi ini.

Dengan menulis tentang kebaikan penerapan good governance dan reformasi birokrasi, serta melambungkan prestasi beberapa kepala daerah agar bisa memacu beberapa daerah lainnya, maka saya berharap akan muncul kemajuan Indonesia yang berawal dari kemajuan daerah. Menulis, dengan demikian, tak ubahnya seperti berjuang. Sebuah profesi yang memiliki tujuan mulia seperti para pejuang.

Jika di masa perang fisik dulu, para pahlawan kita menggunakan bambu runcing, senjata otomatis, bom rakitan yang diisi dengan paku, beling dan pupuk, dengan peluru tajam atau sesekali (jika berhasil merampas) dengan meriam canggih, maka saat ini kita menulis sebenarnya juga melanjutkan perjuangan membangun bangsa ini dengan bersenjatakan pena.

Beberapa buku yang saya tulis selama ini, memang selalu memuat visi dan misi pemerintahan daerah, serta berbagai prestasi pembangunan yang mereka capai, sehingga bisa dijadikan inspirasi bagi setiap orang yang membacanya. Untuk itulah, saya selalu mengusahakan menuangkan ide-ide itu dengan kata-kata yang bertenaga sebagai senjata dan hati yang lembut, tulus dan ikhlas sebagai amunisinya, demi kemajuan bangsa di masa depan, dan dapat dipelajari oleh generasi yang akan datang.

Dengan demikian, saya memerlukan kata-kata yang luar biasa yang bisa dijadikan senjatanya. Dan senjata itu bukan senjata biasa, bukan senjata yang sekali ditembakkan langsung rusak, tak bisa dipakai, akan tetapi senjata itu penuh dengan kekuatan yang membuatnya senantiasa tidak capek dalam menembak. Sedangkan hati yang lembut adalah amunisi, peluru yang akan terbang bebas, tanpa beban, dan fokus pada sasaran. Ketika peluru hati itu telah sampai di sasarannya, maka serta merta orang yang punya hati tulus ikhlas pasti akan tertarik, simpatik, dan malah akan mendukung ide-ide kebaikannya.

Sehingga, sebenarnya menulis tidak lain adalah berjuang untuk membawa umat manusia yang saat ini sedang berada dalam kegelapan, menuju jalan kebenaran yang penuh dengan pencerahan. Bagi orang yang tidak tahu, adakalanya berpikir, bahwa menulis itu kurang efektif dalam mengubah masyarakat. Akibatnya, golongan ini lebih menitikberatkan perjuangannya kepada perbuatan saja, kepada lisan saja.

Apabila kita menyusuri para pen­dahulu kita, yang telah berhasil menelurkan ide-idenya dalam ben­tuk tulisan dan dibaca hingga kini, maka kita akan memandang mereka seolah-olah mereka tidak pernah mati. Mereka memang telah tiada, tapi karya-karya mereka sampai sekarang masih tetap ada, dicetak ratusan, bahkan ribuan eksemplar dalam berbagai bahasa umat manusia. “Umur” karya mereka menjadi lebih abadi ketimbang hanya ceramah di hadapan umat. Begitulah pentingnya berjuang dengan menulis.

Oleh karena itu, saya rasa, dengan menulis kita sebenar­nya bisa berjuang lewat pembumian ide-ide dalam bentuk kata-kata, tidak ada salahnya lewat tulisan singkat ini, marilah kita berjuang lewat tulisan! Berjuang mengubah masyarakat lewat hati, kepala, jemari, kata-kata (senjata kita) dan tinta-tinta kita!

Karena kata adalah senjata, maka marilah kita panggul senjata itu dan tembakkan kepada sasaran dengan jitu. Ya, karena kata adalah benar-benar senjata untuk melumpuhkan segala kemunduran, maka marilah kita borong senjata-senjata itu untuk memenangkan pertarungan sengit antara kemajuan dan kemunduran. Karena kata adalah senjata, maka bagi siapa saja yang nuraninya masih menyala, akalnya masih sehat, kemampuannya masih ada, marilah kita berjuang.***

0 komentar: