Sabtu, 07 Mei 2011

Kejahatan Dibalas Dengan Kebaikan

Marah itu gampang. Tapi marah kepada siapa, dengan kadar kemarahan yang pas, pada saat dan tujuan yang tepat, serta dengan cara yang benar itu yang sulit.
(Aristoteles)

Saya sejak awal dididik keluarga untuk menjadi orang yang tidak pendendam. “Apa pun kejahatan atau keburukan yang orang lain perbuat kepada kamu, usahakan balas dengan perbuatan baik, walau jangan dilupakan kejahatannya.” Itulah pesan ibu saya kepada anak-anaknya yang selalu saya ingat sampai sekarang.

Pada waktu kecil, saya memang heran de­ngan pesan tersebut. “Masak sih, orang sudah berbuat jahat kepada kita, tapi kita balas de­ngan kebaikan?” tanya saya di dalam hati.

Dengan pesan itu, saya berusaha menguatkan diri un­tuk tidak menjadi penden­dam atas keburukan orang kepada saya. Pernah suatu keatika saya dikecewakan orang, dikhianati, dan ditinggalkan. Tapi, saya berupaya sekuat tenaga untuk tidak membalas dengan keburukan pula. Sesuai pesan ibu, saya harus memaafkan dan selalu berusaha menjaga tali silaturahmi.

Dan ternyata, manfaat pesan ibu saya itu, pada akhirnya memang terbukti, bahwa membalas perlakuan buruk orang lain kepada kita dengan kebaikan, merupakan balasan yang sebenarnya akan membuat malu orang tersebut. Sehingga membuat mereka menyadari perbuatan salahnya.

Kepada mereka yang telah berlaku buruk kepada saya, saya justru menghaturkan beribu-ribu terima kasih. Saya merasa, melalui perlakuan buruknya itu, secara tidak langsung telah memberikan perubahan di dalam hidup saya untuk menjadi lebih baik lagi.

Saya berfikir, mungkin tanpa adanya perlakuan itu, saya tidak bisa melakukan apa-apa hari ini. Saya mungkin tidak bisa memiliki lembaga penerbitan dan melahirkan beberapa buku hasil karya sendiri, serta memiliki relasi dengan tokoh-tokoh besar. Bahkan, saya biasa memberikan hasil karya buku-buku yang pernah saya tulis kepada orang-orang yang pernah mengecewakan saya.

Sungguh, sebagai manusia, saya memang punya den­dam, tetapi dendam saya sederhana sekali, yaitu saya ingin membuktikan, bahwa saya juga bisa jauh lebih baik setelah diperlakukan buruk. Dendam saya bukan untuk balas-membalas, tetapi untuk memberikan pelajaran kepada orang yang telah memberikan keburukan, bahwa mereka keliru dalam berbuat hal itu kepada saya.

Dengan begitu, membalasnya dengan berbuat yang lebih baik dan lebih baik, pada akhirnya akan berdampak positif. Bahkan, manfaat membalas keburukan dengan kebaikan, juga pernah dialami orang-orang ternama, seperti yang saya baca di dalam kisah hidup Renald Khasali.

Siapa yang menyangka, seorang pakar manajemen itu, juga pernah tidak lulus di jenjang Sekolah Dasar? Dalam kisahnya, Renald bercerita, bahwa kejadian itu terjadi saat dia duduk di kelas 5 SD. Hidup keluarganya saat itu memang sangat prihatin. Ayahnya, yang menjadi tumpuan keluarga, mengalami jobless. Sedangkan rumahnya, baru saja dijual. Untuk menetap, ia sekeluarga menumpang di rumah kerabat di Jakarta Pusat. Bahkan, untuk pergi-pulang sekolah, ia dan adik-kakak harus menumpang bus kota.

Pagi buta sekitar pukul 04.00 dini hari, ia sudah harus siap-siap berangkat menumpang kendaraan omprengan dari arah Salemba menuju Blok A. Dari sana, ia berjalan kaki menuju sekolah. Kondisi seperti itu pada dasarnya merupakan cobaan berat bagi seorang anak kecil yang harus mengalami keterkejutan, karena perubahan pola hidup, dari yang serba mudah menjadi serba sulit.

Pada awalnya, ia tidak kesulitan berangkat sekolah, namun setelah terjadi perubahan pola hidup itu, ia harus naik bus setiap hari, berdesak-desakan di antara orang-orang dewasa di dalam bus, yang pengap, dan mengejar bus yang kondekturnya tidak suka menerima anak-anak SD, karena praktis mereka cuma membayar separuh harga. Selain itu, jika bus mogok di daerah Jembatan Semanggi, dia pun harus pindah bus. Celakanya, jarang sekali bus yang mau menampung, karena bus mereka pun sudah penuh.

Keadaan tidak lebih baik pada saat ia sampai di rumah, karena penerangan sudah gelap, praktis ia tidak sempat belajar. Selain listriknya tidak kuat, ia sudah sangat keletihan. Dengan ketidaksanggupan menghadapi perubahan pola hidup yang mendadak seperti itu, tidak heran jika saat menerima raport, ia melihat angka-angkanya “kebakaran” (banyak merahnya). Renald Khasali kecil pun menangis hebat menerima ketidaklulusannya, karena merasa benar-benar bodoh dan merasa telah menambah berat penderitaan ibunya yang setiap hari bersusah payah mencari ongkos untuk sekolahnya.

Betapa sakit hati ia dengan gurunya saat itu. Namun, dengan ketidaklulusannya, Renald Khasali tidak merasa perlu balas dendam dengan melakukan keburukan kepada gurunya. Dia hanya bertekad untuk melakukan “dendam” dengan cara membuktikan, bahwa penilaian gurunya adalah keliru.

Sejak itu, di kelas yang sama tahun berikutnya, dia mulai tidak banyak bicara. Pada awalnya, ia memang termasuk anak bandel dan suka bermain. Namun, setelah tidak diluluskan, ia telah berubah menjadi rajin, sehingga menjadi lebih berprestasi. la merasa dendamnya terbalas ketika guru yang tidak meluluskannya itu datang mengajar di kelasnya dan melihat sendiri perubahan luar biasa pada dirinya.

Renald Khasali baru benar-benar merasa bila “dendamnya” telah terbalaskan sepenuhnya ketika ia diundang reuni di Hotel Grand Mahakam. Dia merasa bangga, karena ia telah menjadi salah satu alumni yang berhasil menjadi tokoh terkemuka di Indonesia karena keilmuannya. Keburukan yang dibalas Kasali kecil dengan kebaikan pada akhirnya berbuah manis.

Dengan mempelajari pengalaman pribadi dan orang lain mengenai manfaat memberikan balasan kepada perlakuan buruk dengan kebaikan, maka saya benar-benar telah mera­sakan perubahan ke arah kehidupan yang lebih sukses.

Mari kita camkan perkataan orang bijak ini, “Sukses bukanlah seberapa tinggi bukit yang Anda raih, melainkan, kalau Anda jatuh ke bawah, seberapa cepat Anda bisa kembali.” Sungguh untaian kalimat yang dahsyat dan luar biasa!

***

0 komentar: